The Sky & Ocean

cii ❀⁵
41 min readOct 24, 2023

--

Tak sanggup bohongi hatiku, yang merindu pada bumi semestaku.

Sebuah alur yang tak pernah kita berdua pahami. Tentang apa dan bagaimana Bumi dan Bulan.

Ibaratkan, kamulah bumi yang memancarkan kehidupan. Sedangkan aku, adalah bulan yang hanya meniru matahari.

Awan, kutitipkan salam rinduku pada bumi dengan lautan saksi perpisahan. Apakah engkau tahu, bahwa cahayaku semakin padam — aku merindukan bumi. Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah ia bahagia di sana? Apakah ia sedang melihat diriku yang tengah bersenduh rindu di hadap lautan?

Kini, rasa rindu semakin dalam saat membiru gundah diriku — aku merasakan hembusan nafasmu serasa kaulipur laraku.

Tuhan, bolehkah aku meminta ia kembali bersamaku walau sesaat?
Selama ini, ikhlasku padanya yang tak pernah berdoa meminta ia kembali. Namun, mengapa aku merasakan dirinya memeluk luka laraku — menghadapi dunia nan kejam. Ingin rasanya terlelap tanpa terbangun, karena semata ingin bertemu bumi dalam mimpi panjangku.

Ini curahan hati bulan yang rindu pada bumi. Rindu apa yang dimaksud bulan hingga dirinya bersenduh rindu — bercerita pada awan dan lautan tentang langit 9120.

Langit, Jarak, dan Bumi

20 Desember 2019,
Hari keberangkatanku dari Ranah Minang menuju kota Metropolitan. Sebuah perjalanan yang kutunggu-tunggu, bukan hanya untuk berlibur, tetapi juga untuk membantu tante yang akan menjalani masa persalinannya.

Kebahagiaan terpancar jelas dari wajahku, senyumku tak luntur sejak pagi. Meskipun pandemi COVID-19 telah membayangi dunia, aku tetap melangkah, tentu dengan mematuhi segala protokol penerbangan yang berlaku.

Namun, mengapa aku begitu girang? Jawabannya ada di tanah Batavia.

Langit sore itu tidak begitu mendung, awan-awan putih berarak lembut di cakrawala. Dari jendela pesawat, hamparan biru laut terlihat membentang luas saat kami melintasi selat. Mentari mulai meredup, sinarnya masih menyisakan kilauan keemasan di ujung cakrawala. Sesekali, pesawat sedikit berguncang, membuat beberapa penumpang menahan napas dan berbisik doa.

Pancaran warna jingga tersebar cerah. Perjalanan ketika sore mulai meredup. Dari jendela pesawat, aku memandang semakin dekat ke daratan. Pesawat yang kutumpangi telah mendarat sempurna, dengan doa syukur terdengar di dalam kabin.

Langkahku terburu cepat, dengan perasaan bahagia yang sulit diungkapkan lewat kata-kata. Saat pintu otomatis itu terbuka, menyambutku dengan udara khas kota yang tak pernah tidur. Dari kejauhan, kulihat sosok yang telah kusimpan kerinduan. Sosok tinggi semampai dengan kemeja hitam yang tak terpaut dengan rapi — ia tersenyum, melambaikan tangan kepadaku.

“Bagaimana perjalanannya, Aruna?” tanya sosok itu menghampiriku dengan suara berat namun lembut alun terdengar di telingaku.

Ia adalah Sambara Lakeswara, atau cukup kupanggil Sam. Dia adalah bumiku, tempatku berpulang dalam berbagai cerita dan canda. Tiga tahun kami terpisah oleh jarak antar pulau, dan kini, rindu yang lama tertahan akhirnya menemukan jalannya.

Siapa dia bagiku? Dia hanya sahabat masa kecilku. Orang-orang mengira kami punya hubungan seperti sepasang kekasih. Faktanya tidak, karena komitmen kami dengan janji persahabatan kami. Siapapun diantara kami, yang melanggar janji itu, salah satunya harus menjauh tak asing.

“Hmm… cukup menegangkan karena sempat turbulence di ketinggian 27.000 kaki,” jawabku sembari menarik napas.

“Syukurlah kau sampai dengan selamat.” Tangannya terulur, mengusap pucuk rambutku sekilas. “Bagaimana kabar Ayah dan Bunda?”

“Alhamdulillah, baik. Aku juga bilang ke mereka kalau kamu yang menjemputku.”

“Oh ya? Gimana reaksi mereka?”

Aku terkekeh kecil, lalu mengangkat kotak yang kutenteng sejak tadi. “Bunda menitipkan salam untukmu, dan ini… kiriman spesial dari rumah: kripik sanjai dan rendang.”

Senyum rekah menghiasi wajahnya. Ia sedikit menurunkan maskernya, memperlihatkan ekspresi bahagianya dengan lebih jelas. “Wah, gak sabar nyobain rendang buatan Bunda.”

“Nanti kita makan di rumah Tante,” ujarku, melihatnya mengangguk dengan antusias.

Matanya kemudian tertuju pada pergelangan tanganku. “Wah, kamu masih simpan gelang pemberian aku?”

Aku menundukkan kepala, memperhatikan gelang yang masih melingkar erat di tanganku. “Tentu. Kamu pasti sudah hilang, ya?”

Ia terkekeh kecil, menggaruk tengkuknya. “Hehe… maaf. Waktu turun lapangan, gelangnya jatuh. Dicari-cari, tapi nggak ketemu.”

Aku mendesah ringan. “Hmm… oke, nanti kita beli yang baru, ya. Tapi pas aku balik aja nanti.”

“Kamu balik kapan rencananya?”

“Akhir Februari, mungkin.”

Ia mengangguk pelan. “Oke… selama kamu di sini, aku bakal ajak kamu jalan-jalan.”

Aku tersenyum, lalu mengangkat tangan dengan gaya hormat. “Siap, Pak!”

Keluar dari bandara, angin malam menyapa kulitku. Langit sudah mulai gelap, lampu-lampu kota menyala, memberi nuansa metropolitan yang berbeda dari kampung halamanku. Jakarta selalu terasa sibuk, bahkan di malam hari.

Sambara berjalan di sisiku, tangannya menenteng kotak makanan dari Bunda. Langkahnya santai, tetapi aku tahu ia diam-diam melirikku sesekali.

“Kamu capek?” tanyanya ketika kami tiba di parkiran.

Aku menggeleng. “Enggak, masih excited.”

Ia tersenyum sebelum membuka pintu mobilnya. “Bagus, karena perjalanan ke rumah Tante lumayan macet.”

Aku terkekeh, sudah terbiasa mendengar cerita tentang kemacetan ibu kota. “Gak apa-apa, selama sopirnya bukan kamu, yang ngebut.”

Ia mengangkat alis, memasang ekspresi dramatis. “Wah, aku tuh pengemudi yang taat aturan, Run.”

“Ya ya ya, dulu kamu hampir bikin aku mabuk darat gara-gara ngebut di kelok Sitinjau Lauik,” selaku sambil memasang seatbelt.

Sambara hanya tertawa kecil sebelum menyalakan mesin.

Mobil mulai melaju meninggalkan bandara, menyusuri jalanan ibu kota yang gemerlap. Aku menempelkan kepala di jendela, melihat deretan lampu kota yang berpendar di kejauhan.

“Jadi, gimana tiga tahun terakhir di sana?” suara Sambara memecah keheningan.

Aku menghela napas, mencoba merangkum semua yang terjadi dalam tiga tahun belakangan. “Biasa aja sih… Kuliah, ngerjain tugas, sibuk organisasi, terus…” Aku meliriknya sebentar sebelum tersenyum tipis. “Sesekali mikirin kamu.”

Tangannya yang memegang kemudi sedikit mengencang. “Oh ya?” tanyanya, suaranya sedikit lebih pelan.

Aku mengangguk, menatap lurus ke depan. “Kamu kan bumiku. Gimana aku gak kepikiran?”

Sejenak, ia tidak berkata apa-apa. Tetapi dari ekor mataku, aku bisa melihat sudut bibirnya tertarik naik.

“Kalau gitu, mungkin aku gak sia-sia nunggu.”

Aku menoleh. “Nunggu apa?”

“Ah, nggak. Gak penting.”

Aku mencibir. “Sam, ngomong.”

“Tunggu aja, nanti juga tahu.”

Aku mendengus kesal. “Kamu tuh ya, selalu suka bikin penasaran.”

Ia hanya terkekeh kecil, matanya tetap fokus pada jalanan di depan.

Mobil terus melaju, menyusuri jalanan ibu kota yang masih padat meski malam semakin larut. Aku menyandarkan kepala ke kursi, menikmati percakapan ringan kami yang terasa begitu alami — seperti tiga tahun tidak pernah menjadi jarak.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Sambara benar-benar menepati janjinya. Setiap akhir pekan, ia menjemputku, mengajakku berkeliling kota. Dari pagi hingga petang, kami menelusuri sudut-sudut Jakarta, dari kawasan Kota Tua hingga pantai Ancol. Setiap Sambara ada eaktu luang, ia selalu mengajakku berburu kuliner, dari jajanan lokal hingga yang viral di sosial media. Aku menyerap semua energi kota ini, menyimpan setiap momen dalam memori yang tak ingin kulupakan meski keterbatasan akan era pandemi.

“Aku suka melihat kamu seperti ini, Aruna. Terlihat lebih bebas,” ujar Sam suatu malam, ketika kami duduk di sebuah kafe kecil di daerah Kemang.

Aku menatapnya heran. “Maksudnya?”

“Di sini, kamu nggak harus selalu menuruti aturan keluarga atau memikirkan ekspektasi orang lain. Kamu hanya menjadi dirimu sendiri.”

Aku terdiam sejenak, menyesap kopiku perlahan. Mungkin Sam benar. Ada kebebasan di kota ini yang membuatku lebih lepas, lebih jujur pada diri sendiri.

Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang terus mengusikku — sebuah perasaan yang tak seharusnya muncul. Apakah aku mulai melihat Sam bukan sekadar sahabat? Jika iya, apakah aku siap menghadapi konsekuensinya?

Aku menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran itu. Tidak, aku dan Sam punya janji. Sebuah komitmen yang harus kami pegang teguh. Tapi… sampai kapan aku bisa menepis perasaan ini?

Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela, memperhatikan jalanan yang masih ramai meskipun malam semakin larut. Lampu-lampu kota berpendar seperti bintang yang jatuh ke bumi, menciptakan kilauan yang menenangkan.

“Besok kita ke mana?” tanyaku, mencoba mengalihkan pikiran.

Sam tersenyum kecil, memainkan sendok di cangkir kopinya. “Gimana kalau kita ke Puncak? Aku tahu satu tempat yang mungkin bakal kamu suka.”

Aku mengangkat alis. “Puncak? Kedengarannya seru. Tapi, kita bakal pergi pagi kan?”

“Iya, sebelum matahari terbit. Biar kita bisa lihat kabut pagi di sana.”

Aku mengangguk antusias. “Oke, aku setuju!”

Sam menatapku lekat, lalu tersenyum. “Aku senang kamu di sini, Aruna.”

Aku tersenyum balik, namun dalam hati, ada kegelisahan yang perlahan tumbuh. Apakah kebersamaan ini mulai berarti lebih dari sekadar persahabatan? Aku tak ingin melanggar janji yang kami buat dulu, tapi ada sesuatu yang tak bisa kuabaikan — sebuah perasaan yang semakin nyata.

Aku menarik napas panjang, mencoba mengusir pikiran itu. Mungkin udara segar di Puncak akan membantuku memahami perasaanku lebih baik. “Baiklah, sampai besok pagi, Sam.”

Ia mengangguk, menepuk ringan punggung tanganku sebelum beranjak pergi. Aku menatap punggungnya yang perlahan menjauh, lalu menghembuskan napas pelan. Perjalanan besok mungkin akan menjawab pertanyaan yang berputar di kepalaku selama ini.

Bersama Dia yang Selalu Ada

7 Januari 2020,
Selama aku di kota metropolitan, tak sekalipun kurasakan kebosanan. Justru sebaliknya — aku bahagia, lebih dari sekadar bahagia yang pernah kurasakan sebelumnya. Liburan ini terasa sempurna karena kuhabiskan bersama sahabatku, Bumi.

Mungkin ada yang penasaran, kenapa kami saling memanggil Bumi dan Bulan? Sederhana saja. Seperti bagaimana Bumi membutuhkan Bulan untuk menerangi malamnya, dan Bulan yang tetap setia mengorbit mengelilingi Bumi. Aku membutuhkan Bumi, dan begitu pula sebaliknya.

Tapi hidup, seperti biasa, tak selalu mengikuti rencana. Tepat di awal tahun, aku secara tak terduga ditunjuk sebagai ketua umum himpunan. Tanpa pesaing, pemilihanku bersifat aklamasi. Panik? Tentu saja. Bayangan beban berat itu langsung menekan pundakku yang, jujur saja, rapuh.

Kekhawatiran yang kusimpan lama akhirnya tumpah ruah pada Sam. Kala itu, kami tengah duduk di bangku tua di sudut Kota Tua, diapit gedung-gedung bersejarah yang diam seperti saksi bisu. Sam, bumiku, mendengarkan dengan sabar. Tak sekalipun ia menyela. Hanya sorot matanya yang lembut dan senyuman tipis di sudut bibirnya yang menemaniku. Entah apa yang ia pikirkan, tapi aku meluapkan segalanya tanpa ragu.

“Habis misuh-misuhnya?” tanyanya begitu aku terdiam, napasku sedikit tersengal karena terlalu banyak mengeluh.

“Udah,” jawabku pelan.

“Udah boleh aku ngomong?”

Aku hanya berdehem pelan sebagai jawaban.

“Oke, aku ambil sisi positifnya aja, ya. Artinya, mereka percaya sama kamu. Mereka melihat kerja keras dan loyalitas kamu layak diapresiasi,” Sam berkata dengan nada tenang, menatapku dengan keyakinan penuh. “Aku yakin kamu bisa. Bulan yang aku kenal itu kuat dan penuh semangat. Anggap ini sebagai kesempatan buat upgrade diri kamu ke versi yang lebih baik. Nanti, kamu bakal dapat banyak ilmu kepemimpinan yang berguna buat kamu ke depannya.”

Kata-katanya begitu menenangkan, tapi masih ada keraguan yang bersarang di hatiku. Aku menghela napas pelan sebelum bertanya, “Apa aku benar-benar bisa?”

“Bisa kok,” jawabnya mantap, seraya menepuk pelan pundakku. “Aruna, si Bulan aku, pasti bisa.”

Aku tersenyum tipis, meski dalam hati masih ada sedikit ketakutan. Tapi, setidaknya kehadiran Sam membuat segalanya terasa lebih ringan.

“Tapi, sepertinya aku batal balik Februari deh,” ucapku lirih. “Tanggal 23 Januari ini aku disuruh menghadap kaprodi.”

Sam mengangguk paham sebelum menimpali, “Ya terus kenapa? Kita masih bisa menikmati waktu bareng sebelum kamu balik, kan?”

“Iya sih… Tapi kamu gimana? Jadi tanggal 9 berangkat ke Pontianak?” tanyaku, mengingat rencananya yang sempat ia ceritakan beberapa waktu lalu.

“Jadi, dong. Tiketnya juga udah dipesenin kantor. Aku berangkat sama dua orang lagi buat urus kantor cabang di sana. Cuma empat hari, kok. Tiket pulang juga udah fix.”

Aku mengangguk, mencoba mencatat jadwalnya dalam kepala. “Hmm, oke deh. Aku ikut antar kamu ke bandara, ya?”

“Ya jelas boleh,” balasnya cepat. “Sekalian aku juga mau kasih sesuatu ke kamu. Dari kemarin kepikiran, tapi lupa terus.”

Aku menoleh penasaran. “Apa itu?”

Sam tersenyum misterius. “Rahasia, dong.”

“Main rahasia-rahasiaan, nih?” Aku mencibir, tapi ia hanya tertawa kecil, seolah menikmati rasa penasaranku.

“Udah, yuk pulang. Nanti keburu kemaleman. Tante bisa khawatir kalau kamu pulang terlalu larut.”

Aku menghela napas, menatap langit yang mulai gelap. “Okeee deh…”

Kami pun bangkit, melangkah berdampingan, menikmati hembusan angin malam yang seakan menjadi saksi percakapan kami.

Malam semakin larut saat aku dan Sam berjalan menuju halte. Langkah kami santai, seolah ingin memperpanjang waktu yang tersisa sebelum akhirnya harus kembali ke rutinitas masing-masing.

“Sam,” panggilku pelan.

Hm?”

Aku ragu sejenak, menggigit bibir bawah sebelum akhirnya bertanya, “Kalau aku benar-benar jadi ketua nanti… aku bakal berubah gak, ya?”

Sam menghentikan langkahnya sejenak, menatapku dalam. Lalu, dengan senyum khasnya yang selalu terasa menenangkan, ia berkata, “Kamu bakal tetap jadi Aruna. Cuma mungkin, versi yang lebih kuat.”

Aku tersenyum kecil, meski dalam hati masih ada ketakutan yang belum bisa sepenuhnya hilang.

Kami akhirnya sampai di halte. Jalanan sudah mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Lampu jalan temaram, membuat suasana terasa sedikit melankolis.

“Sam, nanti di Pontianak jangan lupa jaga diri, ya,” ucapku, mencoba mengalihkan pikiranku dari kecemasan tentang masa depan.

“Iya, Bulan,” jawabnya ringan. “Kamu juga jaga diri. Jangan terlalu stres, jangan mikirin hal yang belum kejadian.”

Aku hanya mengangguk.

Bus akhirnya datang, dan aku harus pergi. Sam mengantar sampai pintu, menepuk puncak kepalaku ringan sebelum berkata, “Sampai ketemu lagi, ya.”

Aku melangkah masuk, lalu duduk di dekat jendela, menatap sosoknya yang masih berdiri di luar dengan tangan dimasukkan ke dalam saku jaket. Matanya menatap ke arahku, lalu ia mengangkat tangan, melambaikan perpisahan kecil.

Aku tak tahu kenapa, tapi dadaku tiba-tiba terasa sesak.

Seakan… ini adalah perpisahan yang lebih berat dari biasanya.

Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku terus melayang pada sosok Sam yang masih berdiri di halte, seakan bayangannya enggan menghilang. Aku menggenggam ponsel di tanganku, jemariku ragu untuk mengirim pesan.

Aku: Jangan lupa istirahat, ya. Jangan begadang.
Sam: Siap, ketua! Kamu juga jangan kebanyakan overthinking.
Aku: Gak janji.
Sam: Dasar Bulan bandel.

Aku tersenyum tipis, mengetik balasan tapi urung mengirimnya. Mataku kembali menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota yang berpendar, menciptakan bayangan samar di kaca jendela.

Perasaan aneh itu kembali menghampiri.

Seolah ada sesuatu yang harus kukatakan pada Sam. Sesuatu yang penting… tapi aku sendiri tak tahu apa itu.

Sampai di rumah, aku langsung merebahkan diri di kasur, menatap langit-langit dengan pikiran yang masih berkecamuk. Tanggal 9 nanti, Sam akan berangkat ke Pontianak, lalu aku sendiri harus menghadapi kenyataan bahwa masa liburan ini akan segera berakhir.

Aku menatap ponsel, ragu sejenak sebelum akhirnya mengirim pesan lagi.

Aku: Sam… aku ngerasa aneh.
Sam: Hah? Kenapa?
Aku: Gak tahu. Kayak ada sesuatu yang bakal terjadi.
Sam: Bulan, kamu tuh terlalu banyak mikir. Udah, istirahat aja, ya. Besok ketemu lagi, kan
Aku: Iya… besok ketemu lagi.

Tapi… entah kenapa, aku tak yakin besok akan sama seperti hari-hari sebelumnya.

Pagi datang dengan cepat, tapi hatiku masih terasa berat. Mungkin aku memang terlalu banyak berpikir, seperti yang Sam bilang. Tapi firasat ini… rasanya begitu nyata.

Aku berusaha mengabaikannya saat bersiap bertemu Sam. Kami sudah berjanji untuk sarapan bareng sebelum dia sibuk dengan urusannya hari ini.

Saat aku tiba di kafe tempat biasa, Sam sudah ada di sana. Duduk di meja dekat jendela, tangannya sibuk mengetik sesuatu di ponsel. Wajahnya tenang, tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang berbeda.

Dia mendongak begitu melihatku, lalu tersenyum. “Pagi, Bulan.”

“Pagi, Bumi.”

Aku duduk di depannya, lalu menatap gelas kopi yang sudah dia pesan untukku. “Tumben pesan duluan?”

“Aku inget kamu pasti bakal kesiangan, jadi sekalian aja.”

Aku terkekeh pelan. “Dikira aku gak bisa datang tepat waktu, ya?”

“Ya kira-kira gitu,” balasnya sambil menyeringai. “Bulan gak pernah berubah.”

Aku hanya memutar bola mata.

Kami mulai sarapan sambil mengobrol ringan. Sam bercerita tentang rencana kerjaannya di Pontianak, tentang bagaimana dia agak malas pergi tapi gak bisa menolak. Aku sesekali menimpali, tapi pikiranku masih terus memikirkan perasaan aneh tadi malam.

Sampai akhirnya, di tengah obrolan, dia berhenti bicara dan menatapku dalam.

“Aruna.”

Aku mengangkat kepala. “Hm?”

“Kalau ada satu hal yang bisa kamu lakuin sebelum waktu kita habis, kamu bakal ngelakuin apa?”

Aku mengerutkan kening. “Maksudnya?”

Sam tersenyum kecil, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang terasa asing. “Kalau misalnya kita gak bisa ketemu lagi dalam waktu lama. Apa ada sesuatu yang pengin kamu lakuin?”

Aku menatapnya heran. “Sam, kamu ngomong kayak gitu kenapa?”

Dia hanya terkekeh, menggeleng pelan. “Gak ada. Cuma tanya aja.”

Aku menatapnya lebih lama, tapi akhirnya menghela napas. “Aku gak tahu. Mungkin aku bakal ngabisin lebih banyak waktu sama kamu. Mungkin aku bakal bilang kalau… aku suka banget kita bisa saling panggil Bumi dan Bulan.”

Sam tersenyum. “Aku juga.”

Dan saat itu, aku merasakan sesuatu dalam hatiku yang hampir terlambat kusadari.

Aku gak pernah berpikir tentang kehilangan.

Tapi mungkin, aku seharusnya mulai mempersiapkan diri.

Bulan, Tunggu Aku…

9 Januari 2020,
Bandara pagi itu ramai. Suara pengumuman keberangkatan terdengar dari pengeras suara, bercampur dengan hiruk-pikuk orang-orang yang berlalu-lalang. Beberapa sibuk menyeret koper, sebagian lainnya berpelukan dalam perpisahan yang sendu.

Aku dan Sam berdiri di dekat pintu keberangkatan domestik, membiarkan waktu melambat sebelum akhirnya harus berpisah.

Dari tadi, aku lebih banyak diam. Entah karena masih ingin menikmati sisa momen bersamanya atau karena ada perasaan tak nyaman yang sulit dijelaskan.

Sam, seperti biasa, tetap dengan wajah santainya. Tangannya terselip di saku jaket, tubuhnya sedikit membungkuk ke arahku. “Kenapa bengong?” tanyanya.

Aku menggeleng pelan. “Enggak, cuma… cepet banget, ya. Rasanya baru kemarin kita jalan-jalan di Kota Tua, terus sekarang udah harus berpisah lagi.”

Sam tertawa kecil. “Namanya juga hidup, Bulan. Ketemu, pisah, ketemu lagi.”

Aku hanya menatapnya, menghafalkan setiap detail ekspresinya sebelum akhirnya —

“Kita pisah di sini ya. Kamu bisa pulang sendiri, kan?” Sam menatapku dengan seringai usilnya, seolah meragukan kemampuanku.

“Kita pisah di sini ya. Kamu bisa pulang sendiri, kan?” Sam menatapku dengan seringai usilnya, seolah meragukan kemampuanku.

Aku mendengus. “Ya bisa lah. Emang aku anak kecil?”

“Ya takutnya nyasar aja, kan masih baru di sini.”

Aku memutar mata. “Baru sekali pun aku tetap pintar, tahu! Lagian, sekarang ada aplikasi penunjuk arah.”

Sam terkekeh, lalu tiba-tiba mengusap rambutku hingga berantakan.

“SAM! Berantakan ini!!” Aku memekik kesal, buru-buru merapikan helai-helai rambut yang ia buat kacau.

“Yaudah, sini aku rapihin.” Dengan tenang, Sam memasukkan jemarinya ke sela-sela rambutku, merapikannya dengan gerakan lembut.

Aku terdiam sesaat. Napasku seakan tertahan karena gestur kecil itu.

“Udah nih, cantik.”

Aku langsung mengerucutkan bibir. “Gak usah gombal. Mau aku cubit, nih?” Aku mengangkat tangan, pura-pura mengancam mencubit pinggangnya.

Sam tertawa dan mundur selangkah. “Ampun, ampun…”

Dia tiba-tiba merogoh saku jaketnya, mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna biru tua, lalu menyerahkannya padaku. “Oh ya, ini hadiah yang pengin aku kasih ke kamu. Dari kemarin lupa terus.”

Aku menatap kotak itu dengan penasaran. “Aku buka sekarang, ya?”

Sam buru-buru menggeleng. “Jangan sekarang. Nanti pas udah di rumah aja. Malu ada suratnya.”

Aku mengernyit. “Ih, pake surat segala.”

“Udah, jangan protes. Baca aja. Terus aku tunggu jawabannya… empat hari lagi di bandara ini.” Senyumnya terbit, samar tapi penuh arti.

Aku berkedip. “Hah? Apaan sih? Gak jelas banget.”

Tapi Sam hanya terkekeh dan menepuk pundakku ringan. “Udah, itu rekan kerja aku udah datang.”

Aku menoleh, mengikuti arah pandangannya, lalu melihat seseorang yang berdiri tak jauh dari kami.

Sam menatapku lagi sebelum melangkah pergi. “Hati-hati ya. Pesawat kamu jam 14.30, kan?”

Aku mengangguk. “Iya. Kamu juga, hati-hati di sana.”

Dia tersenyum, lalu mengangkat tangannya, melambaikan perpisahan. “See you in four days.”

Aku membalas lambaian itu, menatapnya yang perlahan menjauh dan berlari kecil mengejar rekan kerjanya.

Lalu, entah kenapa… perasaan aneh itu muncul lagi di dadaku.

Empat hari lagi, katanya.

Kenapa kalimat itu terdengar begitu jauh?

Kenapa… rasanya seakan waktu tidak akan berjalan sesuai yang diharapkan?

Aku menggenggam kotak kecil di tanganku, lalu menghela napas panjang sebelum melanjutkan langkahku pulang.

Sepanjang perjalanan di dalam kereta, rasa penasaran menggelayuti pikiranku. Kotak kecil di tanganku terasa semakin berat, seolah menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar hadiah biasa. Dengan hati-hati, aku membuka kotaknya dan menemukan isinya — sebuah gelang berhiaskan manik-manik berbentuk tata surya.

Aku menatapnya lama. Baru kusadari bahwa gelang yang sama juga melingkar di pergelangan tangan Sam tadi di bandara. Bagaimana aku bisa melewatkan detail sekecil itu?

Perhatianku beralih pada selembar surat mungil yang tersembunyi di balik busa hitam dalam kotak itu. Kertasnya lucu, terlipat rapi. Aku menarik napas dalam sebelum membukanya dan mulai membaca setiap kata yang Sam tulis untukku.

Hai Bulan,
Gimana dengan gelangnya? Kamu suka? Aku yakin kamu pasti suka. Karena di dalam gelang itu ada kita — aku dan kamu. Kali ini, berbeda dari gelang sebelumnya yang hanya punya batu manik Bumi dan Bulan.

Aku memilih yang ini karena kita gak sendiri di alam semesta ini. Jadi, kalau suatu hari kamu merasa sedih, lihat gelang ini. Ingat, selalu ada aku di sana.

Tapi, lebih dari itu… Aku ingin kamu memakai gelang ini. Bukan sebagai simbol persahabatan kita lagi, tapi sebagai sesuatu yang lebih.

Aku menyerah, Bulan. Aku kibarkan bendera putih. Aku lelah menepis perasaan ini. Setelah kita kembali terpisah oleh jarak, aku mohon, tunggu aku. Aku akan kembali — dengan versi terbaikku, di tanah kelahiran kita. Dengan cerita yang baru, dengan lembaran yang lebih indah tentang kita.

Jadi, aku menunggu jawabanmu. Apakah kamu bersedia menerima lamaranku sebagai kekasihmu?

Pakailah gelangnya. Itu satu-satunya harapan kecilku.

From:
Bumi untuk Bulan.

“Kamu melanggar janji, Sam.”

Perasaanku, yang tadi melambung tinggi seperti grafik yang menanjak, kini jatuh terjun bebas — lebih tajam dari yang pernah kubayangkan.

Kereta terus melaju, tapi pikiranku berhenti di satu titik — pada surat itu, pada gelang itu, pada kata-kata Sam yang menggantung tanpa jawaban.

Tanganku masih menggenggam kotak kecil itu erat, seolah dengan menekannya lebih kuat, aku bisa menekan gejolak dalam dadaku agar tak meluap.

“Sam bodoh.”

Aku ingin marah. Aku ingin tertawa sinis. Aku ingin berteriak kalau dia keterlaluan. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu begitu saja, di saat-saat terakhir sebelum dia pergi? Di saat aku tak bisa langsung membalasnya?

Aku mengerjap, menatap pantulan wajahku di jendela kereta yang mulai buram oleh embun. Hati kecilku tahu, aku juga menginginkan hal yang sama. Tapi tidak seharusnya begini. Tidak seharusnya dia melanggar janji untuk tetap berdiri sebagai “Bumi” dalam orbit pertemanan kita.

Aku menghela napas panjang dan menyandarkan kepala ke kursi.

Empat hari.

Sam bilang dia akan menunggu jawabanku empat hari lagi, di bandara yang sama.

Apa aku harus datang? Apa aku harus menjawabnya?

Sebelum pikiranku semakin berlarian liar, notifikasi dari ponsel membuyarkan lamunanku.

Sam: Udah nyampe rumah belum?
Aku menggigit bibir. Menatap layar itu lama sebelum akhirnya membalas.
Aku: Udah. Kamu sendiri?

Tidak ada balasan cepat seperti biasanya. Aku bisa membayangkan dia sedang di pesawat, tanpa bisa langsung membalas pesanku. Atau mungkin dia sengaja menunggu?

Aku melirik kotak kecil di pangkuanku sekali lagi sebelum memasukkannya ke dalam tas.

Aku tahu aku harus segera menemukan jawabanku.

Tapi, aku juga tahu… jawaban itu tak akan semudah memasang gelang di pergelangan tangan.

Dan Segalanya Menjadi Gelap…

Langit sore di Bogor tampak kelabu saat aku melangkah keluar dari stasiun, membawa satu kantong kertas berisi roti maryam yang sempat kubeli sebelum naik kereta. Udara dingin menusuk, tetapi pikiranku masih dipenuhi oleh surat Sam yang kubaca dalam perjalanan tadi.

Hatiku seolah diaduk-aduk. Aku tak tahu harus bagaimana.

Aku meraih kotak kecil berisi gelang dari dalam tas dan menggenggamnya erat. Gelang yang seharusnya menjadi simbol dari sesuatu yang baru — sebuah babak lain dalam hubungan kami — kini justru terasa berat dalam genggamanku.

Empat hari.

Dia bilang menunggu jawabanku empat hari lagi di bandara ini.

Aku menghela napas panjang. Di luar jendela angkot yang kutumpangi, pepohonan dan bangunan berganti dengan cepat, tapi pikiranku tetap terpaku pada satu hal: Sam dan pengakuannya yang tiba-tiba.

Begitu sampai di depan rumah, aku menghirup napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pagar. Langkahku sedikit ragu, namun tetap kukayuh menuju pintu rumah yang sudah terbuka.

“Oh… kamu udah pulang, Aruna?” suara Tante menyambutku begitu aku melangkah masuk ke rumah.

“Oh… kamu udah pulang, Aruna?” suara Tante menyambutku begitu aku melangkah masuk ke rumah.

“Iya, Tan. Ini aku bawa roti maryam dari stasiun Bogor,” kataku sambil menyerahkan kantong kertas berisi makanan.

Tante tersenyum kecil dan mengambilnya. “Makasih, Nak. Kamu pasti capek.”

Aku mengangguk, baru hendak meletakkan tas saat Tante bertanya lagi,

“Oh ya, itu Sam pesawat jam berapa tadi?”

“Jam 14.30.”

Tante yang tadinya sibuk membuka bungkus roti tiba-tiba menghentikan gerakannya.

“Hah?”

Aku mengerutkan kening. “Kenapa, Tan?”

Tante tidak langsung menjawab. Ia buru-buru meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Matanya menatap layar dengan raut wajah yang tiba-tiba tegang.

“Ke Pontianak, kan?” tanyanya lagi, kali ini suaranya terdengar aneh.

“Iya, ke Pontianak. Itu pesawatnya Sriwijaya Air.”

Tante langsung menarik napas dalam, lalu beristigfar pelan. “Allahuakbar…”

Aku menelan ludah. “Tante kenapa?” tanyaku, merasa ada yang tidak beres.

“Bentar, Tante cari berita dulu,” katanya sambil meraih remote dan menyalakan televisi. Jemarinya lincah mengganti channel, mencari sesuatu dengan ekspresi yang semakin sulit dibaca.

Aku mulai merasa cemas.

Tiba-tiba suara penyiar berita menggema di ruangan.

“Baru saja dikonfirmasi bahwa pesawat Sriwijaya Air dengan tujuan Pontianak mengalami kehilangan kontak sebelum akhirnya dinyatakan jatuh di perairan Kepulauan Seribu. Hingga saat ini, tim SAR masih dalam proses evakuasi dan penyelidikan lebih lanjut…”

Aku membeku.

Seakan ada sesuatu yang meremas jantungku dengan kasar. Darah berdesir cepat ke kepala, menciptakan denyutan tajam di pelipisku. Suara di televisi mendadak seperti gema jauh yang bergema dalam pikiranku.

Tidak. Tidak mungkin.

Ini bukan pesawat Sam. Ini pasti kebetulan. Harusnya ada penerbangan lain ke Pontianak, kan?

“Tuh kan, bener Sriwijaya. Ke Pontianak lagi…” suara Tante terdengar pelan, tapi menusuk seperti pisau di dadaku.

Aku menggeleng kuat-kuat. “Ini berita lama kali, Tan,” kataku, suaraku hampir bergetar.

Tante menoleh, ekspresinya penuh iba sekaligus khawatir. “Masa iya berita lama, Aruna? Baru tadi loh ini. Jam empat tadi kejadiannya.”

Aku masih diam. Otakku menolak menerima kenyataan yang sedang ditampilkan di layar. Tapi tubuhku mulai bereaksi lain — tanganku gemetar, napasku terasa pendek dan tidak stabil.

Sampai akhirnya tubuhku limbung, jatuh terduduk di lantai dengan mata kosong menatap layar televisi.

Samar-samar, berita terus mengalun. Cuplikan gambar evakuasi, potongan informasi tentang penumpang, bahkan suara reporter di lokasi kejadian.

Sam…

Sam ada di pesawat itu.

Tidak. Aku harus memastikan. Aku harus tahu dengan mata kepalaku sendiri.

Tanpa berpikir panjang, aku bangkit dan meraih tasku kembali.

“Kamu mau ke mana?” tanya Tante, panik melihatku bergerak begitu cepat.

“Ke bandara.” Suaraku terdengar seperti orang asing di telingaku sendiri.

“Aruna, ini sudah mau malam! Kamu baru saja sampai, sekarang mau pergi lagi?”

“Aku harus ke sana, Tan. Aku harus memastikan ini bukan Sam. Aku harus tahu.”

Tante terlihat ragu. Namun, saat melihat sorot mataku yang penuh keteguhan dan ketakutan yang tidak bisa kusamarkan, ia menghela napas panjang.

“Baiklah. Tapi hati-hati. Dan kabari Tante terus, ya?”

Aku mengangguk sekali sebelum berlari keluar.

Di dalam hati, aku terus berdoa.

Tolong… Sam harus baik-baik saja.

Sedari tadi, Air mataku terus mengalir, panas dan tak terbendung, membasahi pipiku tanpa henti. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada beban tak kasatmata yang menghimpit dadaku. Suara roda kereta yang bergesekan dengan rel hanya menjadi latar samar di telingaku, tenggelam oleh kekacauan di dalam kepalaku.

Aku meremas kotak kecil di tanganku, isinya sepasang gelang sederhana yang tadi pagi Sam berikan. Jemariku mencengkeramnya erat, seolah benda itu adalah satu-satunya penghubung yang tersisa antara aku dan dirinya. Sam baik-baik saja, kan? Ini pasti hanya kesalahan. Pesawatnya baik-baik saja, kan?

Tuhan, aku mohon…

Doaku menggantung, bibirku bergetar tanpa suara. Tolong, jangan Sam. Tolong, jangan Sam.

Aku menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang semakin keras, tapi sia-sia. Bahuku bergetar, napasku tersengal.

Dari ujung gerbong, suara tangisan lain tiba-tiba terdengar.

Histeris. Panik.

“Anakku… anakku bagaimana? Dia baik-baik saja, kan?”

Suara itu pecah di udara, menggema di antara derap roda kereta yang terus melaju. Aku mendongak, mencari sumber suara itu. Seorang ibu, wajahnya basah oleh air mata, memegang erat tangannya sendiri seperti hendak meremas kepedihan yang begitu mendalam. Wanita di sampingnya berusaha menenangkan, membisikkan sesuatu, tapi tangisnya tak mereda.

Hatiku mencelos. Duniaku semakin runtuh.

Aku ingin menutup telinga, ingin berpura-pura tak mendengar, tapi suara ibu itu terlalu nyaring, menusuk jantungku seperti belati.

Seseorang yang ia cintai ada di dalam pesawat itu.

Sama seperti aku.

Sama seperti Sam.

Aku berusaha mengatur napas, tapi rasanya seperti tenggelam di tengah ombak besar yang terus menghantam. Semakin aku berusaha bertahan, semakin aku tenggelam. Aku menunduk, menggigit bibir lebih keras, berusaha membendung isakanku sendiri.

Tapi semakin aku menahannya, semakin aku hancur.

21.12 WIB

Aku tiba di Bandara Soekarno-Hatta dengan napas tersengal, tubuhku masih terasa lemah setelah perjalanan yang tak kukenali lagi rasanya. Aku tak tahu bagaimana kakiku masih mampu bergerak, padahal sebagian besar dari diriku terasa mati rasa.

Begitu memasuki terminal, pemandangan yang menyambutku adalah lautan manusia dalam duka. Tangisan terdengar dari berbagai sudut, memenuhi udara seperti irama pilu yang menyesakkan. Beberapa orang terduduk di lantai, memeluk erat ponsel mereka seakan berharap ada kabar baik yang tiba-tiba muncul. Ada pula yang memeluk sanak keluarga mereka, saling berpegangan dalam ketidakpastian yang menggantung seperti pedang di udara.

Aku tidak tahu harus ke mana. Aku hanya tahu aku harus menemukan jawaban.

Dengan langkah gontai, aku menyusuri lorong yang terasa begitu panjang. Aku berlari — atau mungkin hanya menyeret kakiku dengan kecepatan yang kupaksakan. Aku menabrak seseorang, nyaris jatuh, tapi tubuhku terus bergerak tanpa menoleh.

“Pak… daftar penumpang sudah keluar?” suaraku parau, hampir tak terdengar.

Pria paruh baya di hadapanku menoleh perlahan. Wajahnya lelah, matanya sembab seperti habis menangis. Dengan gerakan berat, ia mengangkat tangannya, menunjuk ke arah layar besar yang dikerumuni banyak orang.

“Di sana, Nak…” katanya lirih.

Aku menelan ludah. Rasanya tenggorokanku kering, perutku kosong seperti dihisap ke dalam kekosongan yang lebih dalam.

Dengan sisa tenaga yang kupunya, aku menerobos kerumunan, tubuhku terdorong ke sana kemari, tapi aku tak peduli. Pandanganku mengabur oleh air mata yang menggenang, tapi aku terus mencari.

Nama itu.

Sambara Lakeswara.

Mataku berhenti pada satu titik.

Dan di sanalah namanya. Tertera jelas di daftar kelas bisnis.

Duniaku berhenti berputar.

Seketika, tubuhku kehilangan kekuatan. Jantungku seakan meledak di dalam dada, denyutnya begitu keras hingga membuat kepalaku berdenyut hebat. Aku tak bisa bernapas. Ruangan terasa semakin sempit, suara-suara di sekelilingku semakin jauh, berubah menjadi dengung tak bermakna.

Aku ingin berteriak. Aku ingin menyangkal. Aku ingin ini semua hanya mimpi buruk.

Tapi tidak.

Nama itu ada di sana. Nyata. Tak bisa kusangkal.

Aku merasa tubuhku kehilangan keseimbangan. Lututku menyerah, jatuh menghantam lantai dingin bandara. Kotak kecil dalam genggamanku terlepas, bergulir pelan di atas ubin, terbuka sedikit memperlihatkan gelang yang Sam berikan. Aku ingin meraihnya, tapi pandanganku semakin menggelap.

Gelap.

Hanya itu yang kurasakan sebelum semuanya hilang.

────୨ৎ────

Saat aku membuka mata, langit-langit putih menyambut pandanganku. Bau khas rumah sakit langsung menyerbu hidung, bercampur dengan dinginnya udara yang menggigit kulit. Ada suara mesin detak jantung di sampingku, berdetak pelan dalam ritme yang menenangkan — atau justru menyiksa, karena aku masih di sini, sementara dia…

Aku mencoba menggerakkan tangan, tapi rasanya berat. Seluruh tubuhku terasa lemah, seolah tenaga telah menguap bersama kesadaranku tadi. Saat mataku bergerak, aku melihat dua sosok di sisi ranjangku.

Tante dan Om.

Mereka duduk di sana dengan wajah yang sama-sama lelah. Tante menatapku dengan mata yang sembab, jejak air mata masih terlihat di pipinya. Om, meski berusaha tegar, tak bisa menyembunyikan ekspresi cemas yang tergurat jelas.

“Aruna, kamu sadar?” suara Tante terdengar serak, seolah habis menangis terlalu lama.

Aku tidak menjawab.

Aku hanya menatap kosong ke langit-langit, membiarkan kelopak mataku yang berat kembali menggenang.

Dalam satu tarikan napas, aku menyadari semuanya.

Bukan mimpi.

Bukan sekadar berita buruk yang akan berlalu.

Sam sudah pergi.

Dan aku tak sempat memberi jawaban.

Aku mengingat suratnya, kata-kata terakhirnya yang terlipat rapi di dalam kotak kecil itu. Aku mengingat gelang yang seharusnya melingkar di pergelangan tanganku, sebagai tanda bahwa aku menerima perasaannya.

Tapi aku malah menyimpannya kembali.

Aku tak bisa menghentikan sesak yang tiba-tiba menghantam dadaku.

Air mataku jatuh, tanpa suara, tanpa isakan. Hanya perasaan hancur yang menggumpal di tenggorokanku, membuatku sulit bernapas.

Sam menungguku.

Tapi aku terlalu lambat.

Sekarang, aku hanya bisa menunggunya dalam kenangan yang tak akan pernah bertambah, tak akan pernah berlanjut.

Aku menutup mata, membiarkan kegelapan menyelimuti pikiranku lagi.

Langit, Laut, dan Rinduku

24 Oktober 2023,
Dalam tangis, kutuliskan kisah bulan yang kehilangan bumi.
Sebuah perpisahan yang tak kubayangkan sebelumnya. Perpisahan yang sebelumnya hanya terpisah jarak antar pulau, namun perpisahan menyakitkan dengan jarak antar semesta.

Setiap kali sosial media memberitakan peringatan 9.1.20 pada Sj 182 dengan iringan lagu ‘Mungkin Hari Ini dan Esok’ berlantun memenuhi berandaku — sungguh sesak serasa jantung ini sesaat berhenti berdetak, menyayat pelan setiap keping luka yang selama ini coba kusimpan rapi.

Aku menutup mata, tapi justru semakin jelas terpampang peristiwa itu. Aku menahan napas, tetapi sesaknya justru makin menikam.

Jantungku serasa berhenti berdetak, seperti hari itu…

Hari ketika aku berlari menembus bandara, berharap namamu tidak ada dalam daftar penumpang.

Hari ketika semua menjadi gelap, dan aku terbangun di ranjang rumah sakit dengan air mata yang tak bisa lagi kutahan.

Sungguh, aku ingin mengucapkan terima kasih — karena kamu masih datang menghiasi bunga tidurku. Setidaknya rinduku terobati dengan kehadiran kamu dalam mimpi malamku.

Mungkin kehadiranmu semalam, dalam bunga tidurku — ingin tahu jawabanku dari pertanyaanmu yang kau tanyakan 1384 hari yang lalu. Jika iya, lihatlah aku dari atas sana — aku masih memakai gelang itu.

Benar kata kamu, Sam — bumiku. Dari tata surya yang kau berikan, aku ternyata tak sendirian dan yakin ternyata selalu kau lipur laraku dari kejauhan.
Oh ya, aku ingin bertanya sesuatu — pertanyaan yang semalam tak sempat kuucapkan:
Apakah kamu yang mengirim matahari untukku?
Kehadiran seseorang di hidupku terasa seperti dejavu,

Kehadiran dirinya sarasa dejavu, aku pada dirimu, bumi — tapi aku tahu, dia bukan kamu, dan aku tak menginginkannya menjadi kamu. Namun, aku bersyukur, karena dia hadir untukku, seperti matahari yang kau kirimkan untuk menggantikan malamku yang panjang.

Kulantunkan Al-Fatihah untukmu semoga kamu tenang di alam sana dan berbahagialah, bumi.

Hari ini, aku menuliskan cerita ini ditemani dengan hembusan angin laut. Suara ombak tak kalah menenangkan bersama langit nan cerah.

Langit cerah, tapi entah kenapa dadaku tetap mendung.

“Bumi, aku menyampaikan pada langit dan laut menjadi saksi bahwa aku merindukanmu.”

Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan luka, ia hanya mengajarkan kita cara untuk hidup berdampingan dengannya. Aku belajar menerima bahwa beberapa kehilangan memang tidak bisa dihindari, dan beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tetap tinggal dalam kenangan.

Hari ini, aku berdiri di tepi pantai, tempat yang dulu menjadi saksi bisu perbincangan kita tentang langit, laut, dan semesta. Angin berhembus lembut, membelai pipiku yang masih hangat oleh sisa air mata. Ombak datang dan pergi, seperti cara waktu membawa ingatan tentangmu — kadang samar, kadang begitu nyata hingga terasa menyakitkan.

Aku menggenggam erat gelang itu, benda terakhir yang menjadi penghubung antara aku dan kamu. Sudah 1384 hari, tapi rasanya seperti baru kemarin aku melihat senyummu, mendengar tawamu, merasakan genggaman tanganmu yang hangat. Aku masih mengingat janji kita, bahwa di semesta mana pun, kau tetap akan menjadi bumiku.

Namun, aku juga tahu… hidup harus terus berjalan.

Aku menatap seseorang di kejauhan — dia, matahariku. Bukan untuk menggantikanmu, tidak pernah. Karena aku tahu, matahari dan bumi memiliki takdir yang berbeda. Jika aku adalah bulan, maka aku tahu bahwa matahari hadir bukan untuk menggantikan bumi, tetapi untuk menerangi malamku yang gelap.

Aku menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.

“Sam, aku baik-baik saja. Aku masih merindukanmu, selalu. Tapi kini, aku sudah bisa berjalan tanpa tertatih lagi. Aku harap kamu juga bahagia di sana. Semoga langit yang kau tinggali kini lebih damai daripada dunia yang kutapaki.”

Aku menutup mata dan mengirimkan doa, membiarkan angin laut membawa namamu bersama ombak yang pergi.

Al-Fatihah, untukmu, Sambara Lakeswara.

Terima kasih telah menjadi bumiku, walau kini kau telah menjadi bagian dari bintang di atas sana.

Aku berdiri di sana, membiarkan kakiku tenggelam sedikit ke dalam pasir yang basah. Ombak menyapu tepi pantai, membawakan buih-buih putih yang pecah sebelum sempat mencapai jemariku. Aku tersenyum kecil — langit sore ini begitu indah, seolah semesta ingin memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.

Di kejauhan, seseorang memanggil namaku. Suaranya tidak asing — hangat, tenang, seperti sinar mentari di pagi hari yang lembut menyusup ke balik jendela. Aku menoleh, melihat matahariku melangkah mendekat, membawa dua cangkir kopi hangat di tangannya.

“Kamu lama sekali di sini,” katanya sambil menyodorkan secangkir untukku.

Aku menerimanya, merasakan kehangatan cangkir yang kontras dengan angin sore yang mulai dingin. “Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan bumi,” jawabku lirih.

Dia tidak bertanya lebih jauh, tidak menuntut penjelasan. Dia hanya tersenyum dan berdiri di sampingku, membiarkan keheningan menjadi bahasa di antara kami. Aku menghargai itu — kehadirannya yang tidak memaksa, hanya ada di sana, seperti matahari yang selalu terbit tanpa meminta imbalan.

Aku menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya terasa familiar, mengingatkanku pada kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu manis. Tapi di balik pahit itu, ada kehangatan, ada ketenangan. Aku menghela napas, lalu menoleh padanya.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” kataku akhirnya.

Dia menatapku dengan sabar, memberi isyarat bahwa dia siap mendengarkan, kapan pun aku siap untuk berbicara.

Dan di bawah langit yang mulai berwarna jingga, diiringi suara deburan ombak yang berulang-ulang menyentuh pantai, aku mulai bercerita. Tentang seorang bumi yang kucintai, yang kini telah menjadi bagian dari bintang-bintang di langit. Tentang luka yang mengajarkanku banyak hal. Tentang perjalanan menemukan cahaya baru tanpa melupakan terang yang pernah ada.

Matahariku mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali menggenggam tanganku ketika suaraku mulai bergetar.

Mungkin, bumi memang telah pergi. Tapi, matahari tetap bersinar. Dan aku… aku akhirnya menemukan caraku untuk tetap berjalan.

Aku menunduk, menatap gelang di pergelangan tanganku. Mata-mata maniknya masih bersinar, memantulkan cahaya senja yang semakin meredup. Aku mengusapnya perlahan, seolah menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

“Bumi, aku masih di sini.”

Aku tahu dia tak akan menjawab. Tapi aku ingin dia tahu, aku tidak melupakan. Tidak akan pernah.

Langit mulai berubah warna, biru tua merayap menggantikan jingga. Di satu titik, bintang pertama muncul — kecil, berpendar lembut di ketinggian. Aku tersenyum.

Mungkin itu dia.

Mungkin, di antara ribuan cahaya di langit sana, ada satu yang selalu menatap ke bawah, mengawasi langkah-langkahku.

Aku menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan.

Lalu, dengan langkah yang pasti, aku berbalik.

Sebab bumi mungkin telah menjadi bintang, tapi aku masih di sini — di bawah langit yang sama, berjalan menuju hari esok yang tak lagi sendiri.

“Bumi, aku menyampaikan pada langit dan laut menjadi saksi bahwa aku merindukanmu.”

Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan luka, ia hanya mengajarkan kita cara untuk hidup berdampingan dengannya. Aku belajar menerima bahwa beberapa kehilangan memang tidak bisa dihindari, dan beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tetap tinggal dalam kenangan.

Hari ini, aku berdiri di tepi pantai, tempat yang dulu menjadi saksi bisu perbincangan kita tentang langit, laut, dan semesta. Angin berhembus lembut, membelai pipiku yang masih hangat oleh sisa air mata. Ombak datang dan pergi, seperti cara waktu membawa ingatan tentangmu — kadang samar, kadang begitu nyata hingga terasa menyakitkan.

Aku menggenggam erat gelang itu, benda terakhir yang menjadi penghubung antara aku dan kamu. Sudah 1384 hari, tapi rasanya seperti baru kemarin aku melihat senyummu, mendengar tawamu, merasakan genggaman tanganmu yang hangat. Aku masih mengingat janji kita, bahwa di semesta mana pun, kau tetap akan menjadi bumiku.

Namun, aku juga tahu… hidup harus terus berjalan.

Aku menatap seseorang di kejauhan — dia, matahariku. Bukan untuk menggantikanmu, tidak pernah. Karena aku tahu, matahari dan bumi memiliki takdir yang berbeda. Jika aku adalah bulan, maka aku tahu bahwa matahari hadir bukan untuk menggantikan bumi, tetapi untuk menerangi malamku yang gelap.

Aku menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.

“Sam, aku baik-baik saja. Aku masih merindukanmu, selalu. Tapi kini, aku sudah bisa berjalan tanpa tertatih lagi. Aku harap kamu juga bahagia di sana. Semoga langit yang kau tinggali kini lebih damai daripada dunia yang kutapaki.”

Aku menutup mata dan mengirimkan doa, membiarkan angin laut membawa namamu bersama ombak yang pergi.

Al-Fatihah, untukmu, Sambara Lakeswara.

Terima kasih telah menjadi bumiku, walau kini kau telah menjadi bagian dari bintang di atas sana.

Aku berdiri di sana, membiarkan kakiku tenggelam sedikit ke dalam pasir yang basah. Ombak menyapu tepi pantai, membawakan buih-buih putih yang pecah sebelum sempat mencapai jemariku. Aku tersenyum kecil — langit sore ini begitu indah, seolah semesta ingin memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.

Di kejauhan, seseorang memanggil namaku. Suaranya tidak asing — hangat, tenang, seperti sinar mentari di pagi hari yang lembut menyusup ke balik jendela. Aku menoleh, melihat matahariku melangkah mendekat, membawa dua cangkir kopi hangat di tangannya.

“Kamu lama sekali di sini,” katanya sambil menyodorkan secangkir untukku.

Aku menerimanya, merasakan kehangatan cangkir yang kontras dengan angin sore yang mulai dingin. “Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan bumi,” jawabku lirih.

Dia tidak bertanya lebih jauh, tidak menuntut penjelasan. Dia hanya tersenyum dan berdiri di sampingku, membiarkan keheningan menjadi bahasa di antara kami. Aku menghargai itu — kehadirannya yang tidak memaksa, hanya ada di sana, seperti matahari yang selalu terbit tanpa meminta imbalan.

Aku menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya terasa familiar, mengingatkanku pada kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu manis. Tapi di balik pahit itu, ada kehangatan, ada ketenangan. Aku menghela napas, lalu menoleh padanya.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” kataku akhirnya.

Dia menatapku dengan sabar, memberi isyarat bahwa dia siap mendengarkan, kapan pun aku siap untuk berbicara.

Dan di bawah langit yang mulai berwarna jingga, diiringi suara deburan ombak yang berulang-ulang menyentuh pantai, aku mulai bercerita. Tentang seorang bumi yang kucintai, yang kini telah menjadi bagian dari bintang-bintang di langit. Tentang luka yang mengajarkanku banyak hal. Tentang perjalanan menemukan cahaya baru tanpa melupakan terang yang pernah ada.

Matahariku mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali menggenggam tanganku ketika suaraku mulai bergetar.

Mungkin, bumi memang telah pergi. Tapi, matahari tetap bersinar. Dan aku… aku akhirnya menemukan caraku untuk tetap berjalan.

Aku menunduk, menatap gelang di pergelangan tanganku. Mata-mata maniknya masih bersinar, memantulkan cahaya senja yang semakin meredup. Aku mengusapnya perlahan, seolah menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

“Bumi, aku masih di sini.”

Aku tahu dia tak akan menjawab. Tapi aku ingin dia tahu, aku tidak melupakan. Tidak akan pernah.

Langit mulai berubah warna, biru tua merayap menggantikan jingga. Di satu titik, bintang pertama muncul — kecil, berpendar lembut di ketinggian. Aku tersenyum.

Mungkin itu dia.

Mungkin, di antara ribuan cahaya di langit sana, ada satu yang selalu menatap ke bawah, mengawasi langkah-langkahku.

Aku menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan.

Lalu, dengan langkah yang pasti, aku berbalik.

Sebab bumi mungkin telah menjadi bintang, tapi aku masih di sini — di bawah langit yang sama, berjalan menuju hari esok yang tak lagi sendiri.

“Bumi, aku menyampaikan pada langit dan laut menjadi saksi bahwa aku merindukanmu.”

Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan luka, ia hanya mengajarkan kita cara untuk hidup berdampingan dengannya. Aku belajar menerima bahwa beberapa kehilangan memang tidak bisa dihindari, dan beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tetap tinggal dalam kenangan.

Hari ini, aku berdiri di tepi pantai, tempat yang dulu menjadi saksi bisu perbincangan kita tentang langit, laut, dan semesta. Angin berhembus lembut, membelai pipiku yang masih hangat oleh sisa air mata. Ombak datang dan pergi, seperti cara waktu membawa ingatan tentangmu — kadang samar, kadang begitu nyata hingga terasa menyakitkan.

Aku menggenggam erat gelang itu, benda terakhir yang menjadi penghubung antara aku dan kamu. Sudah 1384 hari, tapi rasanya seperti baru kemarin aku melihat senyummu, mendengar tawamu, merasakan genggaman tanganmu yang hangat. Aku masih mengingat janji kita, bahwa di semesta mana pun, kau tetap akan menjadi bumiku.

Namun, aku juga tahu… hidup harus terus berjalan.

Aku menatap seseorang di kejauhan — dia, matahariku. Bukan untuk menggantikanmu, tidak pernah. Karena aku tahu, matahari dan bumi memiliki takdir yang berbeda. Jika aku adalah bulan, maka aku tahu bahwa matahari hadir bukan untuk menggantikan bumi, tetapi untuk menerangi malamku yang gelap.

Aku menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.

“Sam, aku baik-baik saja. Aku masih merindukanmu, selalu. Tapi kini, aku sudah bisa berjalan tanpa tertatih lagi. Aku harap kamu juga bahagia di sana. Semoga langit yang kau tinggali kini lebih damai daripada dunia yang kutapaki.”

Aku menutup mata dan mengirimkan doa, membiarkan angin laut membawa namamu bersama ombak yang pergi.

Al-Fatihah, untukmu, Sambara Lakeswara.

Terima kasih telah menjadi bumiku, walau kini kau telah menjadi bagian dari bintang di atas sana.

Aku berdiri di sana, membiarkan kakiku tenggelam sedikit ke dalam pasir yang basah. Ombak menyapu tepi pantai, membawakan buih-buih putih yang pecah sebelum sempat mencapai jemariku. Aku tersenyum kecil — langit sore ini begitu indah, seolah semesta ingin memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.

Di kejauhan, seseorang memanggil namaku. Suaranya tidak asing — hangat, tenang, seperti sinar mentari di pagi hari yang lembut menyusup ke balik jendela. Aku menoleh, melihat matahariku melangkah mendekat, membawa dua cangkir kopi hangat di tangannya.

“Kamu lama sekali di sini,” katanya sambil menyodorkan secangkir untukku.

Aku menerimanya, merasakan kehangatan cangkir yang kontras dengan angin sore yang mulai dingin. “Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan bumi,” jawabku lirih.

Dia tidak bertanya lebih jauh, tidak menuntut penjelasan. Dia hanya tersenyum dan berdiri di sampingku, membiarkan keheningan menjadi bahasa di antara kami. Aku menghargai itu — kehadirannya yang tidak memaksa, hanya ada di sana, seperti matahari yang selalu terbit tanpa meminta imbalan.

Aku menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya terasa familiar, mengingatkanku pada kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu manis. Tapi di balik pahit itu, ada kehangatan, ada ketenangan. Aku menghela napas, lalu menoleh padanya.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” kataku akhirnya.

Dia menatapku dengan sabar, memberi isyarat bahwa dia siap mendengarkan, kapan pun aku siap untuk berbicara.

Dan di bawah langit yang mulai berwarna jingga, diiringi suara deburan ombak yang berulang-ulang menyentuh pantai, aku mulai bercerita. Tentang seorang bumi yang kucintai, yang kini telah menjadi bagian dari bintang-bintang di langit. Tentang luka yang mengajarkanku banyak hal. Tentang perjalanan menemukan cahaya baru tanpa melupakan terang yang pernah ada.

Matahariku mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali menggenggam tanganku ketika suaraku mulai bergetar.

Mungkin, bumi memang telah pergi. Tapi, matahari tetap bersinar. Dan aku… aku akhirnya menemukan caraku untuk tetap berjalan.

Aku menunduk, menatap gelang di pergelangan tanganku. Mata-mata maniknya masih bersinar, memantulkan cahaya senja yang semakin meredup. Aku mengusapnya perlahan, seolah menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

“Bumi, aku masih di sini.”

Aku tahu dia tak akan menjawab. Tapi aku ingin dia tahu, aku tidak melupakan. Tidak akan pernah.

Langit mulai berubah warna, biru tua merayap menggantikan jingga. Di satu titik, bintang pertama muncul — kecil, berpendar lembut di ketinggian. Aku tersenyum.

Mungkin itu dia.

Mungkin, di antara ribuan cahaya di langit sana, ada satu yang selalu menatap ke bawah, mengawasi langkah-langkahku.

Aku menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan.

Lalu, dengan langkah yang pasti, aku berbalik.

Sebab bumi mungkin telah menjadi bintang, tapi aku masih di sini — di bawah langit yang sama, berjalan menuju hari esok yang tak lagi sendiri.

“Bumi, aku menyampaikan pada langit dan laut menjadi saksi bahwa aku merindukanmu.”

Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan luka, ia hanya mengajarkan kita cara untuk hidup berdampingan dengannya. Aku belajar menerima bahwa beberapa kehilangan memang tidak bisa dihindari, dan beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tetap tinggal dalam kenangan.

Hari ini, aku berdiri di tepi pantai, tempat yang dulu menjadi saksi bisu perbincangan kita tentang langit, laut, dan semesta. Angin berhembus lembut, membelai pipiku yang masih hangat oleh sisa air mata. Ombak datang dan pergi, seperti cara waktu membawa ingatan tentangmu — kadang samar, kadang begitu nyata hingga terasa menyakitkan.

Aku menggenggam erat gelang itu, benda terakhir yang menjadi penghubung antara aku dan kamu. Sudah 1384 hari, tapi rasanya seperti baru kemarin aku melihat senyummu, mendengar tawamu, merasakan genggaman tanganmu yang hangat. Aku masih mengingat janji kita, bahwa di semesta mana pun, kau tetap akan menjadi bumiku.

Namun, aku juga tahu… hidup harus terus berjalan.

Aku menatap seseorang di kejauhan — dia, matahariku. Bukan untuk menggantikanmu, tidak pernah. Karena aku tahu, matahari dan bumi memiliki takdir yang berbeda. Jika aku adalah bulan, maka aku tahu bahwa matahari hadir bukan untuk menggantikan bumi, tetapi untuk menerangi malamku yang gelap.

Aku menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.

“Sam, aku baik-baik saja. Aku masih merindukanmu, selalu. Tapi kini, aku sudah bisa berjalan tanpa tertatih lagi. Aku harap kamu juga bahagia di sana. Semoga langit yang kau tinggali kini lebih damai daripada dunia yang kutapaki.”

Aku menutup mata dan mengirimkan doa, membiarkan angin laut membawa namamu bersama ombak yang pergi.

Al-Fatihah, untukmu, Sambara Lakeswara.

Terima kasih telah menjadi bumiku, walau kini kau telah menjadi bagian dari bintang di atas sana.

Aku berdiri di sana, membiarkan kakiku tenggelam sedikit ke dalam pasir yang basah. Ombak menyapu tepi pantai, membawakan buih-buih putih yang pecah sebelum sempat mencapai jemariku. Aku tersenyum kecil — langit sore ini begitu indah, seolah semesta ingin memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.

Di kejauhan, seseorang memanggil namaku. Suaranya tidak asing — hangat, tenang, seperti sinar mentari di pagi hari yang lembut menyusup ke balik jendela. Aku menoleh, melihat matahariku melangkah mendekat, membawa dua cangkir kopi hangat di tangannya.

“Kamu lama sekali di sini,” katanya sambil menyodorkan secangkir untukku.

Aku menerimanya, merasakan kehangatan cangkir yang kontras dengan angin sore yang mulai dingin. “Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan bumi,” jawabku lirih.

Dia tidak bertanya lebih jauh, tidak menuntut penjelasan. Dia hanya tersenyum dan berdiri di sampingku, membiarkan keheningan menjadi bahasa di antara kami. Aku menghargai itu — kehadirannya yang tidak memaksa, hanya ada di sana, seperti matahari yang selalu terbit tanpa meminta imbalan.

Aku menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya terasa familiar, mengingatkanku pada kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu manis. Tapi di balik pahit itu, ada kehangatan, ada ketenangan. Aku menghela napas, lalu menoleh padanya.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” kataku akhirnya.

Dia menatapku dengan sabar, memberi isyarat bahwa dia siap mendengarkan, kapan pun aku siap untuk berbicara.

Dan di bawah langit yang mulai berwarna jingga, diiringi suara deburan ombak yang berulang-ulang menyentuh pantai, aku mulai bercerita. Tentang seorang bumi yang kucintai, yang kini telah menjadi bagian dari bintang-bintang di langit. Tentang luka yang mengajarkanku banyak hal. Tentang perjalanan menemukan cahaya baru tanpa melupakan terang yang pernah ada.

Matahariku mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali menggenggam tanganku ketika suaraku mulai bergetar.

Mungkin, bumi memang telah pergi. Tapi, matahari tetap bersinar. Dan aku… aku akhirnya menemukan caraku untuk tetap berjalan.

Aku menunduk, menatap gelang di pergelangan tanganku. Mata-mata maniknya masih bersinar, memantulkan cahaya senja yang semakin meredup. Aku mengusapnya perlahan, seolah menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

“Bumi, aku masih di sini.”

Aku tahu dia tak akan menjawab. Tapi aku ingin dia tahu, aku tidak melupakan. Tidak akan pernah.

Langit mulai berubah warna, biru tua merayap menggantikan jingga. Di satu titik, bintang pertama muncul — kecil, berpendar lembut di ketinggian. Aku tersenyum.

Mungkin itu dia.

Mungkin, di antara ribuan cahaya di langit sana, ada satu yang selalu menatap ke bawah, mengawasi langkah-langkahku.

Aku menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan.

Lalu, dengan langkah yang pasti, aku berbalik.

Sebab bumi mungkin telah menjadi bintang, tapi aku masih di sini — di bawah langit yang sama, berjalan menuju hari esok yang tak lagi sendiri.

“Bumi, aku menyampaikan pada langit dan laut menjadi saksi bahwa aku merindukanmu.”

Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan luka, ia hanya mengajarkan kita cara untuk hidup berdampingan dengannya. Aku belajar menerima bahwa beberapa kehilangan memang tidak bisa dihindari, dan beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tetap tinggal dalam kenangan.

Hari ini, aku berdiri di tepi pantai, tempat yang dulu menjadi saksi bisu perbincangan kita tentang langit, laut, dan semesta. Angin berhembus lembut, membelai pipiku yang masih hangat oleh sisa air mata. Ombak datang dan pergi, seperti cara waktu membawa ingatan tentangmu — kadang samar, kadang begitu nyata hingga terasa menyakitkan.

Aku menggenggam erat gelang itu, benda terakhir yang menjadi penghubung antara aku dan kamu. Sudah 1384 hari, tapi rasanya seperti baru kemarin aku melihat senyummu, mendengar tawamu, merasakan genggaman tanganmu yang hangat. Aku masih mengingat janji kita, bahwa di semesta mana pun, kau tetap akan menjadi bumiku.

Namun, aku juga tahu… hidup harus terus berjalan.

Aku menatap seseorang di kejauhan — dia, matahariku. Bukan untuk menggantikanmu, tidak pernah. Karena aku tahu, matahari dan bumi memiliki takdir yang berbeda. Jika aku adalah bulan, maka aku tahu bahwa matahari hadir bukan untuk menggantikan bumi, tetapi untuk menerangi malamku yang gelap.

Aku menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.

“Sam, aku baik-baik saja. Aku masih merindukanmu, selalu. Tapi kini, aku sudah bisa berjalan tanpa tertatih lagi. Aku harap kamu juga bahagia di sana. Semoga langit yang kau tinggali kini lebih damai daripada dunia yang kutapaki.”

Aku menutup mata dan mengirimkan doa, membiarkan angin laut membawa namamu bersama ombak yang pergi.

Al-Fatihah, untukmu, Sambara Lakeswara.

Terima kasih telah menjadi bumiku, walau kini kau telah menjadi bagian dari bintang di atas sana.

Aku berdiri di sana, membiarkan kakiku tenggelam sedikit ke dalam pasir yang basah. Ombak menyapu tepi pantai, membawakan buih-buih putih yang pecah sebelum sempat mencapai jemariku. Aku tersenyum kecil — langit sore ini begitu indah, seolah semesta ingin memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.

Di kejauhan, seseorang memanggil namaku. Suaranya tidak asing — hangat, tenang, seperti sinar mentari di pagi hari yang lembut menyusup ke balik jendela. Aku menoleh, melihat matahariku melangkah mendekat, membawa dua cangkir kopi hangat di tangannya.

“Kamu lama sekali di sini,” katanya sambil menyodorkan secangkir untukku.

Aku menerimanya, merasakan kehangatan cangkir yang kontras dengan angin sore yang mulai dingin. “Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan bumi,” jawabku lirih.

Dia tidak bertanya lebih jauh, tidak menuntut penjelasan. Dia hanya tersenyum dan berdiri di sampingku, membiarkan keheningan menjadi bahasa di antara kami. Aku menghargai itu — kehadirannya yang tidak memaksa, hanya ada di sana, seperti matahari yang selalu terbit tanpa meminta imbalan.

Aku menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya terasa familiar, mengingatkanku pada kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu manis. Tapi di balik pahit itu, ada kehangatan, ada ketenangan. Aku menghela napas, lalu menoleh padanya.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” kataku akhirnya.

Dia menatapku dengan sabar, memberi isyarat bahwa dia siap mendengarkan, kapan pun aku siap untuk berbicara.

Dan di bawah langit yang mulai berwarna jingga, diiringi suara deburan ombak yang berulang-ulang menyentuh pantai, aku mulai bercerita. Tentang seorang bumi yang kucintai, yang kini telah menjadi bagian dari bintang-bintang di langit. Tentang luka yang mengajarkanku banyak hal. Tentang perjalanan menemukan cahaya baru tanpa melupakan terang yang pernah ada.

Matahariku mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali menggenggam tanganku ketika suaraku mulai bergetar.

Mungkin, bumi memang telah pergi. Tapi, matahari tetap bersinar. Dan aku… aku akhirnya menemukan caraku untuk tetap berjalan.

Aku menunduk, menatap gelang di pergelangan tanganku. Mata-mata maniknya masih bersinar, memantulkan cahaya senja yang semakin meredup. Aku mengusapnya perlahan, seolah menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

“Bumi, aku masih di sini.”

Aku tahu dia tak akan menjawab. Tapi aku ingin dia tahu, aku tidak melupakan. Tidak akan pernah.

Langit mulai berubah warna, biru tua merayap menggantikan jingga. Di satu titik, bintang pertama muncul — kecil, berpendar lembut di ketinggian. Aku tersenyum.

Mungkin itu dia.

Mungkin, di antara ribuan cahaya di langit sana, ada satu yang selalu menatap ke bawah, mengawasi langkah-langkahku.

Aku menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan.

Lalu, dengan langkah yang pasti, aku berbalik.

Sebab bumi mungkin telah menjadi bintang, tapi aku masih di sini — di bawah langit yang sama, berjalan menuju hari esok yang tak lagi sendiri.

“Bumi, aku menyampaikan pada langit dan laut menjadi saksi bahwa aku merindukanmu.”

Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan luka, ia hanya mengajarkan kita cara untuk hidup berdampingan dengannya. Aku belajar menerima bahwa beberapa kehilangan memang tidak bisa dihindari, dan beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tetap tinggal dalam kenangan.

Hari ini, aku berdiri di tepi pantai, tempat yang dulu menjadi saksi bisu perbincangan kita tentang langit, laut, dan semesta. Angin berhembus lembut, membelai pipiku yang masih hangat oleh sisa air mata. Ombak datang dan pergi, seperti cara waktu membawa ingatan tentangmu — kadang samar, kadang begitu nyata hingga terasa menyakitkan.

Aku menggenggam erat gelang itu, benda terakhir yang menjadi penghubung antara aku dan kamu. Sudah 1384 hari, tapi rasanya seperti baru kemarin aku melihat senyummu, mendengar tawamu, merasakan genggaman tanganmu yang hangat. Aku masih mengingat janji kita, bahwa di semesta mana pun, kau tetap akan menjadi bumiku.

Namun, aku juga tahu… hidup harus terus berjalan.

Aku menatap seseorang di kejauhan — dia, matahariku. Bukan untuk menggantikanmu, tidak pernah. Karena aku tahu, matahari dan bumi memiliki takdir yang berbeda. Jika aku adalah bulan, maka aku tahu bahwa matahari hadir bukan untuk menggantikan bumi, tetapi untuk menerangi malamku yang gelap.

Aku menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.

“Sam, aku baik-baik saja. Aku masih merindukanmu, selalu. Tapi kini, aku sudah bisa berjalan tanpa tertatih lagi. Aku harap kamu juga bahagia di sana. Semoga langit yang kau tinggali kini lebih damai daripada dunia yang kutapaki.”

Aku menutup mata dan mengirimkan doa, membiarkan angin laut membawa namamu bersama ombak yang pergi.

Al-Fatihah, untukmu, Sambara Lakeswara.

Terima kasih telah menjadi bumiku, walau kini kau telah menjadi bagian dari bintang di atas sana.

Aku berdiri di sana, membiarkan kakiku tenggelam sedikit ke dalam pasir yang basah. Ombak menyapu tepi pantai, membawakan buih-buih putih yang pecah sebelum sempat mencapai jemariku. Aku tersenyum kecil — langit sore ini begitu indah, seolah semesta ingin memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.

Di kejauhan, seseorang memanggil namaku. Suaranya tidak asing — hangat, tenang, seperti sinar mentari di pagi hari yang lembut menyusup ke balik jendela. Aku menoleh, melihat matahariku melangkah mendekat, membawa dua cangkir kopi hangat di tangannya.

“Kamu lama sekali di sini,” katanya sambil menyodorkan secangkir untukku.

Aku menerimanya, merasakan kehangatan cangkir yang kontras dengan angin sore yang mulai dingin. “Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan bumi,” jawabku lirih.

Dia tidak bertanya lebih jauh, tidak menuntut penjelasan. Dia hanya tersenyum dan berdiri di sampingku, membiarkan keheningan menjadi bahasa di antara kami. Aku menghargai itu — kehadirannya yang tidak memaksa, hanya ada di sana, seperti matahari yang selalu terbit tanpa meminta imbalan.

Aku menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya terasa familiar, mengingatkanku pada kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu manis. Tapi di balik pahit itu, ada kehangatan, ada ketenangan. Aku menghela napas, lalu menoleh padanya.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” kataku akhirnya.

Dia menatapku dengan sabar, memberi isyarat bahwa dia siap mendengarkan, kapan pun aku siap untuk berbicara.

Dan di bawah langit yang mulai berwarna jingga, diiringi suara deburan ombak yang berulang-ulang menyentuh pantai, aku mulai bercerita. Tentang seorang bumi yang kucintai, yang kini telah menjadi bagian dari bintang-bintang di langit. Tentang luka yang mengajarkanku banyak hal. Tentang perjalanan menemukan cahaya baru tanpa melupakan terang yang pernah ada.

Matahariku mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali menggenggam tanganku ketika suaraku mulai bergetar.

Mungkin, bumi memang telah pergi. Tapi, matahari tetap bersinar. Dan aku… aku akhirnya menemukan caraku untuk tetap berjalan.

Aku menunduk, menatap gelang di pergelangan tanganku. Mata-mata maniknya masih bersinar, memantulkan cahaya senja yang semakin meredup. Aku mengusapnya perlahan, seolah menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

“Bumi, aku masih di sini.”

Aku tahu dia tak akan menjawab. Tapi aku ingin dia tahu, aku tidak melupakan. Tidak akan pernah.

Langit mulai berubah warna, biru tua merayap menggantikan jingga. Di satu titik, bintang pertama muncul — kecil, berpendar lembut di ketinggian. Aku tersenyum.

Mungkin itu dia.

Mungkin, di antara ribuan cahaya di langit sana, ada satu yang selalu menatap ke bawah, mengawasi langkah-langkahku.

Aku menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan.

Lalu, dengan langkah yang pasti, aku berbalik.

Sebab bumi mungkin telah menjadi bintang, tapi aku masih di sini — di bawah langit yang sama, berjalan menuju hari esok yang tak lagi sendiri.

“Bumi, aku menyampaikan pada langit dan laut menjadi saksi bahwa aku merindukanmu.”

Waktu tak pernah benar-benar menyembuhkan luka, ia hanya mengajarkan kita cara untuk hidup berdampingan dengannya. Aku belajar menerima bahwa beberapa kehilangan memang tidak bisa dihindari, dan beberapa cinta memang ditakdirkan untuk tetap tinggal dalam kenangan.

Hari ini, aku berdiri di tepi pantai, tempat pencipta membawamu pergi. Meski berbeda namun airnya masih sama. Angin berhembus lembut, membelai pipiku yang masih hangat oleh sisa air mata. Ombak datang dan pergi, seperti cara waktu membawa ingatan tentangmu — kadang samar, kadang begitu nyata hingga terasa menyakitkan.

Aku menggenggam erat gelang itu, benda terakhir yang menjadi penghubung antara aku dan kamu. Sudah 1384 hari, tapi rasanya seperti baru kemarin aku melihat senyummu, mendengar tawamu, merasakan genggaman tanganmu yang hangat. Aku masih mengingat janji kita, bahwa di semesta mana pun, kau tetap akan menjadi bumiku.

Namun, aku juga tahu… hidup harus terus berjalan.

Aku menatap seseorang di kejauhan — dia, matahariku. Bukan untuk menggantikanmu, tidak pernah. Karena aku tahu, matahari dan bumi memiliki takdir yang berbeda. Jika aku adalah bulan, maka aku tahu bahwa matahari hadir bukan untuk menggantikan bumi, tetapi untuk menerangi malamku yang gelap.

Aku menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil.

“Sam, aku baik-baik saja. Aku masih merindukanmu, selalu. Tapi kini, aku sudah bisa berjalan tanpa tertatih lagi. Aku harap kamu juga bahagia di sana. Semoga langit yang kau tinggali kini lebih damai daripada dunia yang kutapaki.”

Aku menutup mata dan mengirimkan doa, membiarkan angin laut membawa namamu bersama ombak yang pergi.

Al-Fatihah, untukmu, Sambara Lakeswara.

Terima kasih telah menjadi bumiku, walau kini kau telah menjadi bagian dari bintang di atas sana.

Aku berdiri di sana, membiarkan kakiku tenggelam sedikit ke dalam pasir yang basah. Ombak menyapu tepi pantai, membawakan buih-buih putih yang pecah sebelum sempat mencapai jemariku. Aku tersenyum kecil — langit sore ini begitu indah, seolah semesta ingin memberiku sebuah pelukan yang menenangkan.

Di kejauhan, seseorang memanggil namaku. Suaranya tidak asing — hangat, tenang, seperti sinar mentari di pagi hari yang lembut menyusup ke balik jendela. Aku menoleh, melihat matahariku melangkah mendekat, membawa dua cangkir kopi hangat di tangannya.

“Kamu lama sekali di sini,” katanya sambil menyodorkan secangkir untukku.

Aku menerimanya, merasakan kehangatan cangkir yang kontras dengan angin sore yang mulai dingin. “Aku hanya ingin berbicara sebentar dengan bumi,” jawabku lirih.

Dia tidak bertanya lebih jauh, tidak menuntut penjelasan. Dia hanya tersenyum dan berdiri di sampingku, membiarkan keheningan menjadi bahasa di antara kami. Aku menghargai itu — kehadirannya yang tidak memaksa, hanya ada di sana, seperti matahari yang selalu terbit tanpa meminta imbalan.

Aku menyesap kopi itu perlahan. Pahitnya terasa familiar, mengingatkanku pada kenyataan bahwa hidup memang tidak selalu manis. Tapi di balik pahit itu, ada kehangatan, ada ketenangan. Aku menghela napas, lalu menoleh padanya.

“Aku ingin menceritakan sesuatu,” kataku akhirnya.

Dia menatapku dengan sabar, memberi isyarat bahwa dia siap mendengarkan, kapan pun aku siap untuk berbicara.

Dan di bawah langit yang mulai berwarna jingga, diiringi suara deburan ombak yang berulang-ulang menyentuh pantai, aku mulai bercerita. Tentang seorang bumi yang kucintai, yang kini telah menjadi bagian dari bintang-bintang di langit. Tentang luka yang mengajarkanku banyak hal. Tentang perjalanan menemukan cahaya baru tanpa melupakan terang yang pernah ada.

Matahariku mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali menggenggam tanganku ketika suaraku mulai bergetar.

Mungkin, bumi memang telah pergi. Tapi, matahari tetap bersinar. Dan aku… aku akhirnya menemukan caraku untuk tetap berjalan.

Aku menunduk, menatap gelang di pergelangan tanganku. Mata-mata maniknya masih bersinar, memantulkan cahaya senja yang semakin meredup. Aku mengusapnya perlahan, seolah menyampaikan sesuatu yang tak bisa diucapkan.

“Bumi, aku masih di sini.”

Aku tahu dia tak akan menjawab. Tapi aku ingin dia tahu, aku tidak melupakan. Tidak akan pernah.

Langit mulai berubah warna, biru tua merayap menggantikan jingga. Di satu titik, bintang pertama muncul — kecil, berpendar lembut di ketinggian. Aku tersenyum.

Mungkin itu dia.

Mungkin, di antara ribuan cahaya di langit sana, ada satu yang selalu menatap ke bawah, mengawasi langkah-langkahku.

Aku menarik napas dalam, lalu melepaskannya perlahan.

Lalu, dengan langkah yang pasti, aku berbalik.

Sebab bumi mungkin telah menjadi bintang, tapi aku masih di sini — di bawah langit yang sama, berjalan menuju hari esok yang tak lagi sendiri.

--

--

Responses (1)