ONE SHOT STORY WRITING EVENT #Life_With_Gyu
Aku selalu suka sore hari di penghujung minggu. Bukan karena langit yang perlahan meredup dalam semburat jingga, bukan pula karena aroma tanah setelah hujan yang masih menggantung tipis di udara. Aku suka sore hari karena di sanalah Bumi selalu pulang.
Hari ini, ia datang dengan kemeja linen putih yang lengannya tergulung santai, membiarkan kulitnya yang sedikit lebih gelap dari bias senja terpapar udara. Rambutnya masih setengah basah, seolah baru selesai dari perjalanannya sendiri.
“Kita mau ke mana?” tanyaku begitu ia menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu kamarku.
Bumi tersenyum, senyum yang tidak pernah sekadar tarikan bibir, melainkan sesuatu yang terasa. “Ikut aja, jangan banyak nanya.”
Aku memutar bola mata, tapi tetap mengikutinya.
Bumi membawaku ke rooftop sebuah gedung di tengah kota. Cahaya lampu-lampu metropolitan sudah mulai menyala, membuat cakrawala tampak seperti kanvas yang dihiasi kunang-kunang buatan.
Aku berdiri di tepi, menikmati angin yang membelai wajahku pelan, sementara Bumi sibuk mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya.
“Apa itu?” tanyaku, mendekat.
Ia mengangkat sesuatu yang ternyata adalah proyektor kecil. “Duduk,” perintahnya, sebelum menyalakan benda itu, membuat cahaya tipis membentuk gambar di dinding kosong di depan kami.
Aku tersenyum kecil begitu menyadari apa yang sedang ia lakukan. Video-video pendek yang pernah kami rekam, foto-foto yang tak pernah masuk ke media sosial, semua terputar dalam satu rangkaian sederhana.
Bumi duduk di sampingku, mendekat, lalu berbisik, “Setahun lalu, di tanggal yang sama, kamu bilang nggak ada orang yang pernah benar-benar tinggal di sekitarmu.”
Aku menoleh, menatapnya, lalu mengangguk pelan. Itu adalah fakta pahit. Sebagai seorang wanita yang sebatang kara hidup di hapit antara menyesakkannya roda kehidupan fana ini. Lalu…
Bumi tersenyum kecil, menggenggam tanganku, jari-jarinya yang besar mengisi celah di antara jariku dengan sempurna. “Aku tinggal di sini, Kiara.”
Aku diam. Dadaku terasa penuh, tapi entah oleh apa.
“Kamu nggak perlu nunggu aku buat janji apa-apa,” lanjutnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, “ dan aku nggak ke mana-mana.”
Jantungku berdebar, terlalu kencang hingga aku yakin ia bisa mendengarnya.
Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirku hanya mengukir senyum.
Mungkin begini rasanya jatuh cinta pada seseorang yang tidak hanya datang, tapi juga tinggal.
Di sampingku, Bumi terkekeh. “Kamu blushing, ya?”
Aku mendesah pelan, menunduk, lalu menutup wajahku dengan tangan.
Bumi tertawa. Tawanya yang renyah membuat dadaku terasa lebih hangat dari semua cahaya yang berpendar di kota ini.
Dan di sanalah aku, seorang perempuan yang tersesat dalam matanya — tidak ingin ditemukan, tidak ingin pulang.
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku hanya diam, membiarkan suara Bumi mengisi celah di antara hembusan angin di rooftop ini. Ada sesuatu dalam caranya berbicara — tenang, tapi penuh kepastian — yang membuatku merasa tidak perlu ragu untuk percaya.
“Kamu diem aja gitu?” Bumi menyenggol bahuku pelan, nadanya menggoda. “Aku baru aja ngasih kamu semacam… love confession, Kiara.”
Aku mengerjap, lalu menurunkan tangan yang sedari tadi menutupi wajahku. “Aku nggak blushing,” sanggahku, meski aku tahu itu bohong.
Bumi menyipitkan mata, bibirnya tertarik ke samping, ekspresi khasnya setiap kali tahu aku berusaha menyangkal sesuatu yang jelas-jelas benar. “Ya udah, aku anggap kamu menerima, ya?”
Aku pura-pura mendesah, memeluk lutut sambil memiringkan kepala ke arahnya. “Coba ulangi sekali lagi, bagian kamu bilang, kamu tinggal…”
Bumi mengangkat satu alis, menahan tawa. “Buat apa?”
Aku mengedikkan bahu. “Biar aku yakin ini nggak halu.”
Seketika, tangan Bumi terulur, menangkup sisi wajahku dengan lembut. Ibu jarinya menyusuri pipiku perlahan, sentuhannya begitu ringan seolah sedang menyimpan sesuatu yang rapuh.
“Kiara, aku tinggal di sini untukmu,” bisiknya. Kali ini lebih dekat. Lebih nyata.
Aku menutup mata. Mungkin untuk sesaat, mungkin untuk selamanya.
Bumi mendekat. Aku bisa merasakan napasnya membentur kulitku. Ada sesuatu di udara, sesuatu yang terlalu padat untuk diabaikan, tapi juga terlalu halus untuk digenggam.
“Kiara,” panggilnya.
Aku membuka mata, menatap langsung ke irisnya yang gelap — seperti langit di malam tanpa bintang, tapi tetap membuatku ingin tenggelam.
“Iya?” suaraku nyaris tenggelam dalam bunyi angin.
Bumi tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia hanya tersenyum, lalu menyentuhkan bibirnya ke keningku — pelan, tapi cukup dalam untuk meninggalkan jejak yang tak akan hilang meski hujan turun ribuan kali.
Dan di detik itu, aku tahu, aku tidak sedang bermimpi.
Aku tidak langsung membuka mata setelah bibirnya menjauh dari keningku. Bukan karena aku takut menghadapi kenyataan, tapi karena aku ingin mengingat momen ini dengan sempurna.
Sentuhan lembutnya. Kehangatan yang tertinggal. Cara napasnya berhembus pelan di dekat wajahku.
Bumi Kiara.
Nama itu berputar di kepalaku bagaikan mantra, seperti sesuatu yang tak bisa aku hentikan meski aku mau.
Bumi masih diam di tempatnya, tidak bergerak lebih jauh, tapi juga tidak menjauh. Ia menungguku, membiarkanku memproses semuanya dalam diam.
Akhirnya, aku membuka mata, dan detik itu juga, aku mendapati matanya sudah lebih dulu tertuju padaku.
“Kenapa liatin kayak gitu?” tanyaku, berusaha terdengar santai meski jantungku masih berpacu.
Bumi menyeringai. “Nggak boleh?”
Aku menghembuskan napas, mendesah kecil. “Bikin deg-degan.”
Bumi tertawa pelan, kemudian menyingkirkan helaian rambut yang jatuh di wajahku dengan ujung jarinya. “Bagus dong,” katanya. “Harusnya gitu di depan pacar.”
Aku mengerjap. Kata-katanya terdengar ringan, tapi menusuk tepat ke dalam dada.
Pacar.
Ya Tuhan.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan senyum yang entah kenapa tidak bisa aku cegah. “Sejak kapan?” tanyaku, berpura-pura bingung.
Bumi menghela napas, berpura-pura pasrah. “Kok sejak kapan? Ya sejak tadi, lah.”
Aku menatapnya lama. Mungkin terlalu lama. Mungkin cukup lama sampai aku bisa melihat bagaimana matanya melunak, bagaimana ujung bibirnya terangkat sedikit demi sedikit, bagaimana tubuhnya sedikit condong ke arahku.
“Apa?” tanyanya, nada suaranya lebih pelan kali ini.
Aku menggeleng pelan. “Nggak apa-apa,” jawabku.
Aku hanya ingin merekam semuanya — cara ia berbicara, cara ia menatapku, cara dunia terasa lebih ringan setiap kali aku bersamanya.
Aku ingin ingat bagaimana rasanya jatuh cinta pada seseorang yang benar-benar tinggal.
Bumi menatapku sekali lagi, lalu tanpa peringatan, ia menarikku ke dalam dekapannya.
Dadanya hangat. Nyaman. Aman.
Dan di sanalah aku, tersesat di antara debaran jantungnya — tidak ingin ditemukan, tidak ingin pulang.
Bumi tidak berkata apa-apa, hanya diam sambil membiarkan tangannya melingkari tubuhku dengan sempurna. Tidak terlalu erat, tapi juga tidak menyisakan ruang untuk pergi.
Aku menutup mata, menyelaraskan napasku dengan napasnya, merasakan setiap detak jantungnya seolah itu adalah nadaku sendiri.
“Kamu tahu, kan?” gumamnya di atas kepalaku.
Aku bergumam kecil sebagai jawaban, tidak yakin apa yang ia maksud, tapi juga tidak ingin melepaskan pelukannya terlalu cepat.
“Bahwa aku nggak akan ke mana-mana,” lanjutnya, suaranya serak, seakan ingin ia pastikan, skelai lagi.
Aku menelan ludah. Ada sesuatu dalam cara Bumi mengatakan itu yang membuat dadaku menghangat.
“Aku tahu,” jawabku pelan, jujur.
Bumi mengendurkan pelukannya sedikit, cukup untuk melihat wajahku tanpa benar-benar menjauh. Ia mengangkat satu tangannya, ibu jarinya mengusap tulang pipiku, sentuhan yang terasa lebih seperti jaminan daripada sekadar gestur manis.
“Kamu sadar nggak sih, Ki,” katanya, bibirnya membentuk senyum samar, “aku nggak pernah secuek yang kamu pikirkan selama ini.”
Aku mengerutkan kening, tidak mengerti arah pembicaraan ini.
Bumi tersenyum lebih lebar, kali ini disertai seringai jahil yang khas. “Aku tahu kapan kamu lagi lapar tapi nggak bilang,” katanya. “Aku tahu kalau kamu nahan ngantuk tapi masih maksa nonton film. Aku tahu kamu bakal bilang ‘nggak apa-apa’ kalau lagi kesel, padahal kamu pengen dengerin aku minta maaf duluan.”
Aku membuka mulut, siap membantah, tapi Bumi keburu mengangkat tangan, menempelkan telunjuknya ke bibirku.
“Aku tahu tentang kamu lebih dari yang kamu kira.”
Aku terdiam.
Jantungku benar-benar payah. Aku bisa mendengarnya berdegup kencang di telingaku sendiri, seolah ingin memastikan bahwa aku tidak akan melewatkan satu detik pun dari momen ini.
Lalu, Bumi menarik napas panjang, seakan hendak mengatakan sesuatu yang penting.
“Jadi, kalau kamu lagi marah atau sedih atau takut, jangan pernah mikir buat kabur dari aku.”
Aku berkedip.
“Aku nggak janji bisa selalu bener,” lanjutnya, kali ini dengan senyum yang lebih kecil, “tapi aku janji bakal selalu dengerin.”
Dan, Tuhan, aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa.
Aku hanya bisa menatapnya — mencoba mengukir setiap detail dari ekspresinya, dari ketulusan di matanya, dari cara dia mengatakannya tanpa ragu sedikit pun.
Lalu, entah karena refleks atau dorongan hati yang tak bisa aku tahan, aku mengangkat tangan dan mencubit pipinya pelan.
Bumi mengerjap. “Eh?”
Aku menggeleng, akhirnya tertawa kecil. “Kenapa kamu seserius ini, sih?”
Bumi mendesah, seolah baru sadar betapa berdebarnya suasana yang tadi ia ciptakan. Lalu, seperti biasa, seringainya kembali. “Yah, Kamu bikin aku kayak gini, sih.”
Aku mengerutkan hidung. “Kayak gimana?”
Bumi terkekeh, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Kayak orang yang jatuh cinta banget.”
Sial. dia selalu membungkamku, sementara rasa hangat menjalari pipiku, menyebar sampai ke ujung telinga.
Bumi hanya menatapku sambil tersenyum, seolah tahu betul bahwa aku tidak akan bisa membalas kata-katanya.
Mungkin karena dia benar.
Mungkin karena aku juga jatuh cinta, sama besarnya.
Bumi masih menggenggam tanganku, ibu jarinya mengusap punggung telapak tanganku dengan gerakan kecil yang nyaris tidak terasa. Tapi justru itulah yang membuat dadaku terasa penuh.
Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Dari matanya yang sedikit menyipit saat tersenyum, dari bibirnya yang melengkung santai seakan dunia sedang baik-baik saja, dari caranya menggenggam tanganku seolah itu adalah sesuatu yang paling alami di dunia.
Aku mencoba menenangkan diriku sendiri, tapi Bumi tidak membantuku sama sekali.
“Kamu sadar, nggak sih, kalau kamu tuh gemesin banget kalau lagi salting?” katanya, masih dengan nada jahil khasnya.
Aku memutar bola mata, pura-pura mendesah kesal, meski aku tahu warna merah di pipiku pasti sudah tidak bisa disembunyikan lagi. “Kamu seneng banget ya ngegodain aku?”
“Banget.”
“Kenapa sih?”
Bumi tersenyum, senyuman yang terlalu manis untuk seseorang yang biasanya hobi menjahiliku. “Karena lucu,” katanya ringan.
Dan jantungku benar-benar menyerah kali ini.
Aku berdeham, berusaha mengalihkan perhatian dari betapa kacaunya aku saat ini. “Jadi… kita mau ke mana?” tanyaku, mengayunkan tangan kami yang masih saling menggenggam.
Bumi berpikir sejenak. “Gimana kalau kita nggak usah ke mana-mana?”
Aku menaikkan alis. “Maksudnya?”
“Maksudnya…” Bumi menarik tanganku, membawaku lebih dekat sebelum menundukkan kepala sedikit, menatapku dengan intens. “Gimana kalau hari ini kita lewatin waktu bareng, tanpa harus mikirin harus ke mana atau ngapain?”
Aku mengerutkan kening, mencoba memahami maksudnya.
“Lagi pula,” lanjutnya, nada suaranya lebih lembut, “bagi aku, yang penting bukan tempatnya. Yang penting kamu ada di situ.”
Dan sial, aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
Bumi tersenyum miring, seolah tahu betapa aku berusaha keras menyembunyikan betapa lelehnya aku saat ini.
Aku menggeleng kecil, menahan senyum yang hampir pecah. “Kamu emang nggak ada niat buat ngasih aku kesempatan buat napas, ya?”
Bumi terkekeh, lalu menarikku ke dalam pelukannya lagi — tanpa peringatan, tanpa aba-aba, seakan itu adalah hal yang paling normal di dunia.
Aku tidak tahu apakah aku harus kesal, malu, atau justru semakin jatuh cinta.
Tapi aku tahu satu hal:
Aku tidak ingin hari ini berakhir.
Dan mungkin — hanya mungkin — aku juga tidak ingin perasaan ini berakhir.
Bumi masih memelukku, tangannya melingkari pinggangku dengan nyaman, seolah aku memang seharusnya berada di sana sejak awal. Aku merasakan detak jantungnya yang stabil, iramanya perlahan menenangkan degup liar di dadaku.
Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. “Sadar nggak, sih? Kamu ini bahaya.”
Bumi tidak langsung menjawab. Ia sedikit menjauh hanya agar bisa menatapku, bibirnya masih melengkung dalam senyum khasnya. “Masa?”
Aku mengangguk, berpura-pura serius. “Banget.”
Matanya berbinar seakan menantikan jawaban lebih lanjut. “Kenapa?”
Aku berdeham, lalu menunjuk dadaku sendiri. “Karena setiap kali kamu ngomong sesuatu yang manis, aku bisa kena serangan jantung mendadak.”
Bumi tertawa. Tawanya rendah, hangat, membuat udara di sekelilingku terasa lebih ringan. “Kalau gitu, kamu harus mulai biasain diri, Ki.”
Aku mengerutkan kening. “Kenapa?”
Bumi menatapku dengan cara yang nyaris membuatku lupa cara bernapas. “Karena aku nggak ada niatan buat berhenti.”
Oh.
Tolong. Aku butuh pertolongan.
Bumi benar-benar tidak tahu batasan kapan harus berhenti sebelum aku meleleh jadi genangan di depannya.
Aku menggigit bibir, mencoba menyembunyikan senyum bodoh yang nyaris muncul. “Kamu serius?” tanyaku, suaraku sedikit lebih kecil dari seharusnya.
Bumi mengangguk pelan, ibu jarinya mengusap lembut pergelangan tanganku. “Banget.”
Sial.
Aku benar-benar bisa mati sekarang.
Aku mengalihkan pandangan, tidak tahan dengan intensitas di matanya. “Ya udah, sekarang kita mau ngapain?” tanyaku cepat, berusaha mengganti topik sebelum pipiku semakin memanas.
Bumi tampak berpikir sejenak. Lalu, matanya berbinar. “Gimana kalau kita cari es krim?”
Aku menatapnya tak percaya. “Serius?”
“Banget.”
Aku terkekeh, menggeleng tak habis pikir. “Kamu dari tadi bikin suasana serius banget, terus tiba-tiba ngajak makan es krim?”
Bumi mengangkat bahu. “Apa hubungannya? Suka es krim, kan?”
Aku mendesah kecil, pura-pura kesal. “Kamu tuh aneh, tau nggak?”
Bumi hanya tertawa, lalu dengan santai meraih tanganku lagi, jari-jarinya langsung menyelip di antara jemariku seolah itu adalah kebiasaan yang sudah ia lakukan seumur hidupnya.
“Ya udah, ayo,” katanya ringan, menarikku untuk berjalan bersamanya. “Aku denger ada tempat baru yang jual es krim rasa chamomile, mungkin kamu bakal suka.”
Aku menoleh padanya, sedikit terkejut. “Kok kamu tahu aku suka chamomile?”
Bumi tersenyum kecil, ekspresinya seolah mengatakan bahwa ia tahu lebih banyak daripada yang kusadari. “Kiara,” katanya pelan, “aku tahu semuanya tentang kamu.”
Dan di titik itu, aku menyerah.
Aku benar-benar jatuh cinta pada Bumi.
Bumi menggenggam tanganku sepanjang jalan, dan aku tidak keberatan.
Jemarinya terasa nyaman, hangat, seolah memang seharusnya ada di sana. Aku menoleh sekilas, mencuri pandang ke arahnya. Rambutnya berantakan karena angin, ekspresinya santai, tapi ada sedikit senyum kecil di sudut bibirnya — sebuah ekspresi yang selalu berhasil membuat dadaku terasa penuh.
“Apa?” tanyanya tanpa menoleh, tapi aku tahu ia menyadari tatapanku.
Aku buru-buru mengalihkan pandangan. “Nggak.”
Bumi terkekeh. “Kamu ngeliatin aku.”
“Enggak.”
“Kamu malu?”
Aku mendesah. “Bumi.”
Bumi menahan tawanya, tapi aku bisa melihat bahunya sedikit bergetar. “Oke, oke,” katanya akhirnya, meski aku tahu ia menikmati momen ini lebih dari yang seharusnya.
Kami sampai di kafe kecil di ujung jalan, tempat yang tidak terlalu ramai, dengan aroma kopi dan vanila yang menyelimuti udara. Aku memilih tempat duduk dekat jendela sementara Bumi pergi ke konter untuk memesan.
Dari tempatku duduk, aku bisa melihatnya berbicara dengan barista, mengangguk-angguk kecil, lalu tertawa ringan. Dan aku berpikir: seharusnya tidak ada yang boleh terlihat se-menyenangkan itu hanya karena memesan es krim.
Aku menggelengkan kepala pelan, mencoba mengusir pikiran bodoh yang mulai memenuhi otakku. Tapi tidak butuh waktu lama sebelum Bumi kembali, membawa dua cup es krim dengan ekspresi penuh kemenangan.
“Ini,” katanya, menyerahkan satu cup padaku. “Es krim chamomile buat Kiara.”
Aku menerima cup itu, menatapnya penuh selidik. “Serius ini chamomile?”
Bumi tertawa. “Kamu pikir aku bohong?”
Aku menatap es krim di depanku, lalu akhirnya mencicipinya. Rasa manis lembut menyentuh lidahku, dengan sedikit aroma bunga yang khas — dan entah bagaimana, rasanya mengingatkanku pada Bumi.
Aku menoleh padanya, menemukan dirinya tengah menatapku dengan penuh antisipasi. “Gimana?”
Aku berusaha menahan senyum. “Lumayan.”
Bumi mendengus. “Lumayan?”
Aku mengangkat bahu. “Iya.”
Bumi mendekat, menyipitkan matanya dengan ekspresi yang jelas-jelas tidak percaya. “Bohong.”
Aku tertawa. “Terserah.”
Bumi menghela napas dramatis. “Ya udah, kalau nggak suka, sini buat aku aja.”
Ia mengulurkan tangannya seolah hendak mengambil es krimku, tapi sebelum ia sempat menyentuhnya, aku buru-buru menarik cup itu menjauh. “Eh, siapa bilang nggak suka?”
Bumi tersenyum penuh kemenangan. “Jadi kamu suka?”
Aku mendengus. “Bumi.”
“Kiara.”
Aku menggeleng tak habis pikir, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum yang muncul di bibirku.
Dan di saat itu, di tengah sendok-sendok es krim yang terasa manis, di antara tatapan yang lebih lama dari seharusnya dan tawa yang menggema di antara kami, aku sadar —
Aku ingin seperti ini selamanya.
Aku ingin hari-hari biasa terasa spesial hanya karena ada dia di sana.
Aku ingin Bumi.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin percaya bahwa mungkin, kali ini, aku tidak akan kehilangan.
Tapi sekarang, semua itu tidak lebih dari ilusi masa lalu yang seharusnya kukubur dalam-dalam.
Cangkir chamomile di tanganku masih terasa hangat, tapi entah kenapa, aromanya kini lebih menusuk daripada menenangkan. Mungkin karena aku tahu, tidak peduli seberapa dalam aku menarik napas, aroma itu tak akan pernah membawa kembali sosok yang dulu duduk di hadapanku — tersenyum, menggoda, dan berkata bahwa aku adalah misteri yang ingin ia pecahkan.
Aku memejamkan mata, membiarkan kenangan itu berputar seperti film lama yang diputar ulang. Aku dan Bumi, berjalan di trotoar yang basah setelah hujan. Ia menggenggam tanganku, menoleh dan tersenyum seolah dunia hanya milik kami berdua. Ia memesan es krim chamomile untukku dan tertawa saat aku berpura-pura tidak menyukainya. Ia menyebut namaku dengan cara yang membuat jantungku berdetak lebih cepat.
Ia berjanji akan selalu ada.
Dan aku percaya.
Sial. Aku percaya.
Aku membuka mata, menatap bayangan samar diriku di jendela. Mata yang dulu bersinar penuh harapan kini hanya menyisakan kelelahan. Aku benci bagaimana pikiranku masih saja kembali padanya, benci bagaimana setiap detail kecil tentangnya masih melekat kuat seolah aku menyimpan Bumi di bawah kulitku.
Aku mengangkat cangkir chamomile itu ke bibirku, menyeruputnya pelan. Rasanya masih sama — manis, lembut, sedikit pahit di akhir.
Sama seperti cinta yang Bumi tinggalkan.
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku membiarkan air mata itu jatuh.